Hai... sori lama dan ini dikiit...
Aku tiba2 demam tinggi. Dan nggak gerak dari tempat tidur. hari ini udah lumayan jdi disempetin nulis.
Happy reading ajaa... semoga memuaskan.
.
.
.
Amira ingin merebahkan kepalanya barang lima menit. Kantuk juga pusing. Namun, ia tak punya celah untuk mengendap, semua pasang mata masih mengarah padanya. Ah... kenapa sofa yang didudukinya begitu nyaman. Kapan orang-orang ini permisi pulang? Batin Amira.
“Lebih baik kita pulang, Ma.”
Ucapan Sonya membuat mata Amira yang tadinya menyipit kini terbuka lebar. Ah... bagus!
Sementara wanita yang disebut Mama oleh Sonya tadi, menipiskan bibir, menggerutu tak jelas sebelum bangkit. Tak ada salam ramah sebelum meninggalkan rumah Alvin seperti yang dia lakukan sebelumnya. Dia merasa harus menunjukkan kalau dirinya marah dan kecewa.
Oke, dan itu tak penting bagi Amira yang segera melirik seisi rumah, begitu dua wanita tadi keluar. Hanya ada total empat pintu sepenglihatannya, jika yang satu tadi adalah pintu kamar mandi. Maka hanya ada tiga kamar? Kamar tamu sudah pasti digunakan Bu Hanun, dan yang tadi dia masuki adalah kamar Kai. Lalu sisanya yang paling depan, sudah pasti kamar Alvin. Argh... Amira tak sanggup berpikir sementara kepalanya sudah seperti dicucuk paku.
Bu Hanun berdiri dan memasuki kamar yang sesuai dengan prediksi Amira.
Giliran Alvin hendak berdiri, tapi kembali terduduk karena remasan tangan Amira. “Kenapa?”
“Aku ingin istirahat, barang lim—Um sepuluh menit.”
Alvin menaikkan sedikit. “Itu, kamu bisa beristirahat di sana.” Alvin menunjuk pintu tepat seperti yang diperkirakan Amira.
“Selama aku tidur Mas nggak akan masuk ke sana kan?” bisik Amira.
Kernyitan di dahi Alvin kian dalam. “Aku perlu mandi dan ganti baju. Sudah pasti aku akan masuk ke sana.”
“Kalau begitu aku tunggu di sini. Mas silakan mandi dan ganti baju.”
Mata Alvin menyipit. “Kenapa? Kamu takut?”
Amira balas menatap. Meski sudah terlalu lelah, tapi otaknya belum tumpul untuk mengartikan pertanyaan jebakan itu.
“Aku masih ingat kamu bilang ingin bertahan selama mungkin. Dan... Yang paling aku ingat kamu menawarkan diri dengan begitu percaya diri kalau kamu masih perawan.” Alvin mendekatkan wajahnya saat mengatakannya.
Wajah Amira mundur beberapa senti. “Sekalipun aku takut, aku akan memberanikan diri jika buku nikah sudah ditanganku.” Amira tersenyum tipis, sementara Alvin langsung berdecak menjauhkan tubuhnya. “Aku kira Mas bukan orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan kan?”
Amira melepaskan tangannya sebelum berdiri. Namun jantungnya berdegup karena dia sangat sadar Alvin mengikuti langkahnya hingga memasuki kamar. Amira mengembuskan napas berulang kali agar emosinya tetap terkendali dan wajah tak menampilkan ekspresi yang berlebihan.
Saat dia berbalik, Alvin justru mengunci pintu kamar.
“Aku yang istirahat lebih dulu, atau Mas duluan? Kalau Mas memang sangat ingin membersihkan diri, lebih baik aku keluar.”
“Duduk!”
Bola mata Amira memancar penuh antisipasi. Tidak ada perjanjian hitam diatas putih, juga uang yang ditransfer. Semuanya masih merugikan Amira dan sekarang pria ini akan seenaknya saja memerintah?
Alvin memajukan langkahnya. Membuat Amira mau tak mau bergerak mundur. Dan saat kakinya menabrak pinggir ranjang mau tak mau dia terduduk. Sedangkan Alvin? Amira bisa bernapas lega karena Alvin menarik kursi kerjanya.
“Ada yang harus kita bicarakan. Hari ini semuanya berjalan... kamu tahu? Sangat tidak sesuai rencana. Dan tentunya aku sangat dirugikan.”
Amira menaikkan alisnya. Dia juga merasa dirugikan.
“Aku tidak membuat kontrak karena memang ini bukan pernikahan kontrak. Akan ada banyak masalah jika ada pihak ketiga yang tahu. Dan jika suatu waktu kita bercerai, itu murni karena kamu dan aku tak bisa lagi menjalankan komitmen yang kita sepakati bersama, bukan karena kontrak pernikahan habis dan semacamnya, mengerti? Tapi tenang saja, hal-hal yang bersifat materi akan diurus hitam diatas putihnya oleh pengacaraku.
“Dan hal-hal non-material yang kumaksud adalah, tidak boleh mengurusi hal-hal yang bersifat pribadi. Jika ada sesuatu yang mendesak, aku yang akan menghubungimu atau mengatakan langsung. Semua berdasarkan instruksiku karena aku kepala keluarga di sini. Apa yang kamu lakukan selama tidak ada aku juga harus berdasarkan izinku.”
“Semuanya?” Alis Amira terangkat. “Apa aku juga harus melapor jika aku ingin buang air kecil atau besar?”
Alvin berdecak. “Kamu sudah dewasa, pastinya kamu tahu mana yang harus kamu laporkan mana yang tidak.” Dia kemudian melipat tangannya. “Nona, aku bahkan tidak mengenal sedikit pun tentang dirimu sebelum ini. Mungkin saja malam ini kamu berencana menggeledah isi kamar ini. Siapa yang tahu?”
Geraham Amira saling bertaut. Ditatapnya Alvin lurus-lurus. “Dan itu berlaku kebalikannya, kan?” Alvin mengerutkan dahinya. “Dengar, Mas bilang kalau aku tidak boleh mencampuri urusan Mas, sementara Mas memintaku untuk izin setiap kali aku melakukan sesuatu. Jika Mas benar-benar mencurigaiku kusarankan Mas memasang CCTV.”
CCTV?? Mata Alvin membeliak, Argh... dia memang sudah memasangnya diseluruh sudut ruangan terkecuali di kamarnya dari sejak istrinya meninggal, dia memang tak bisa mempercayakan sepenuhnya pada pengurus rumah tangga yang menjaga Kailandra. Tapi bodohnya kenapa tadi dia tak mengecek, andai saja dia tak seceroboh ini dia pasti sudah tahu kalau Mama Ina berkujung ke sini.
Dahi Amira terlipat karena Alvin justru sibuk dengan ponselnya. Tak lama pria itu terlihat mendengus kemudian menatap tajam ke arahnya.
Kenapa? batin Amira.
Jawabannya adalah, karena Alvin terlalu fokus pada wanita itu hingga dirinya tak menggunakan otak kanannya dengan baik. Dia merasa sangat kecolongan.
Amira meremas lututnya. “Jadi—“
“Jadi kamu ingin bilang kalau urusanmu juga tak boleh aku urusi?”
“Bukankah itu adil?”
Alvin mengeratkan gerahamnya. “Oke, lagipula urusanmu tak begitu penting untukku.” Kenapa dia harus melakukan pembelaan? Alvin membuang tatapannya.
“Satu lagi.” Amira menyahut. “Keperawananku setimpal dengan buku nikah.”
Alvin kembali menatap Amira, tersenyum miring. “Yakin? Aku pikir kamu akan memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya. Punya anak dariku akan membuatmu memiliki lebih banyak uang.”
Dari sudut mata Alvin bisa menilai Amira yang tampak berpikir. Wajahnya tampak lugu dan polos, meski Alvin tahu isi kepalanya sama sekali tak mencerminkan wajahnya.
Tak lama wanita itu menggeleng.
“Itu memang ide bagus. Tapi, aku belum mau menambah beban hidup dengan hamil dan punya anak.”
Good choice! Tapi tetap saja menyebalkan karena yang berbicara adalah Amira.
“Bagus, kita sepemikiran.” Alvin menyahut setengah mendengus kemudian berjalan menuju pintu.
“Kita juga harus pisah ranjang sebelum aku mendapat buku nikah, kan?”
Alvin menggerutu dalam hati, membuka kunci pintu kamar. Apakah dia harus memundurkan waktu tiga bulan? Tidak. Tidak. Nanti Amira justru besar kepala.
Lagi pula apa yang harus dia harapkan dari tubuh Amira yang... sialan bagus itu. Alvin membuka pintu dan tak sengaja menutupnya kencang.
-tbc-
01/07/2019 liarasati