PROLOG

154K 4.8K 187
                                    

Duduk berdua di pelaminan bersama sang pujaan tentu merupakan impian setiap orang. Namun, itu tidak terjadi ketika resepsi pernikahanku berlangsung saat ini. Aku duduk tidak hanya berdua, tapi berempat. Lah, duanya lagi siapa?

Bukan mantan, karena aku tidak tahu siapa mantan si bapak itu. Kalau mantanku, jangan tanya. Banyak!

Di sini, di pelaminan yang ditata dengan penuh bunga dan warna. Berbalut kebaya modern warna putih, aku duduk memangku bocah berusia lima tahun, si cantik nan manja Syifa. Sementara di tengah-tengah aku dan si bapak itu, ada sang kakak Imran—yang hanya berjarak satu tahun dengan Syifa—duduk tenang dan terus memasang senyum malaikatnya sepanjang acara.

Ini bukan pernikahan impianku, tapi melihat antusias dan senyum dua makhluk polos itu membuat pernikahan ini memiliki arti tersendiri bagiku. Ketika aku menjadi seorang istri, aku pun menjadi seorang ibu dari dua bocah yang tidak tahu bagaimana menjelaskan rasa itu sekarang. Yang pasti, aku sedang menikmati moment langka yang tidak semua pasangan pengantin bisa rasakan. Ya, kecuali kamu menikahi seorang duda atau janda.

Seperti aku, Andini Miranty yang mendadak nikah dengan seorang duda beranak dua. Seorang lelaki paling irit senyum, tapi hanya kepadaku. Bima Sakti namanya. Lelaki tiga puluh tujuh tahun yang merupakan seorang jaksa.

"Adek, jangan pangku sama Ibu terus. Ayo duduk sama Abang di sini."

Aku menoleh ke samping saat Pak Bima berusaha mengambil alih Syifa dariku.

"Eh, Pak! Biarin aja. Nanti Syifa nangis, repot lho. Ini masih rame tamunya." Aku berusaha menahan Syifa dengan memeluk tubuh mungilnya. Sementara gadis kecil itu balas memegangi kedua tanganku.

"Nah, justru itu. Kita lagi sibuk sekarang, gimana mau meladeni tamu kalau Syifa pangku terus sama kamu," sahut lelaki itu sewot.

"Ish. Sudah deh, Pak. Saya yang pangku Syifa, kenapa Bapak yang repot?" balasku tidak kalah sewot. Kami terus berdebat sampai tidak sadar jadi tontonan tamu yang sedang menikmati acara. Bahkan tidak kuhiraukan suara emak dan bapak yang duduk di sisi Pak Bima. Beruntung, sedang tidak ada yang naik ke pelaminan untuk memberi selamat pada kami.

"Bang Imran sama Syifa, sini ikut Om, yuk. Kita makan sama Tante di sana. Sama Alfa dan Nafa juga." Tiba-tiba Kak Faiz muncul dari sampingku.

"Eh, Kak?"

"Sudah, buruan kasih anak-anak sini! Mau dilihat tamu tuh!" Dengan sedikit paksaan, Kak Faiz mengambil alih Syifa. Dan dengan tenang, Imran pun ikut kakak iparku itu tanpa bisa kucegah.

Aku melirik ke samping. Pak Bima duduk menatap lurus ke depan. Di sisinya, emak dan bapak menatap horor padaku.

Ish! Aku lagi yang salah!

Sekarang aku benar-benar duduk berdua dengan galaksi ini. Kenyamanan yang terasa saat ada anak-anaknya tadi, sirna tidak berbekas. Bisa bayangkan bagaimana rasanya menikah dengan seseorang yang tidak kamu cinta?

Sulit membayangkannya jika kamu tidak mengalaminya sendiri. Aku memang tidak mencintainya, tapi aku mencintai anak-anaknya.

Dia? Sama saja denganku. Kami menikah karena anak-anaknya.

💞


Hai, masih ingat Andin, kan? Adiknya Aluna, iparnya Faiz (Cinta yang Memilih dan Takdir Kita). Sesuai janji, aku posting ceritanya dengan genre yang sama dengan cerita Aluna-Faiz. Cerita yang santai tapi cukup serius.🙏

Kdi, 15 Mei 2019

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang