Bagian - 17

66.3K 5K 842
                                    

Nah, siapa yang nunggu Andin dan Pak Bee versi novel?

🌼🌼🌼

Samar terdengar orang berbicara, tapi entah siapa karena mataku terasa berat untuk mengerjap. Tubuhku yang tadinya terayun, kini rasanya baru saja dibaringkan dan dibawa entah ke mana. Lalu usapan yang terasa di pucuk kepala membuatku nyaman dan enggan untuk membuka mata.

Beberapa saat waktu berlalu, bukan hanya usapan di pucuk kepala, tapi terasa genggaman tangan seseorang di tangan kananku. Akhirnya aku membuka mata dan melihat Pak Bima berdiri di samping. Dia tampak memperhatikan beberapa wanita sedang mengerubungi tempatku berbaring. Kemudian salah satu dari mereka mendekat dan bertanya padaku.

"Ibu Andini, bisa dengar suara saya?"

Aku hanya mengangguk lemah tanpa menjawab.

"Ibu Andinu ingat tanggal mestruasi bulan lalu?" tanyanya lagi, kali ini terdengar aneh. Aku mencoba untuk berpikir, lalu menyebutkan tanggal di awal bulan.

"Apakah jadwal menstruasi Ibu biasanya selalu lancar?" Wanita yang kuperkirakan usianya yang hanya beberapa tahun lebih tua denganku itu kembali bertanya.

Aku menghela napas pelan lalu menjawab lemah, "Iya, biasanya lancar. Tapi, bulan ini sempat terlambat dua minggu. Sampai akhirnya beberapa hari lalu keluar, tapi cuma flek dan sakit sekali."

Wanita yang baru kusadari adalah seorang dokter itu begitu sabar menanyakan hal-hal yang semuanya kurasakan beberapa hari ini. Demam, nyeri di perut serta tubuh yang lemah.

"Kalau begitu Ibu diperiksa darahnya dulu. Setelah itu USG untuk mengetahui apakah darah yang keluar tadi adalah darah menstruasi atau adanya kehamilan."

Aku tercengang mendengar satu kata terakhir yang diucapkan dokter.

Aku hamil?

"Lakukan semua yang terbaik, Dok." Pak Bima yang sejak tadi terdiam akhirnya bersuara, menyadarkanku dari pikiran yang berkecamuk.

Setelah darahku diambil, aku beristirahat sebentar. Setelah hasil tes darah keluar, mereka membawaku masuk dalam sebuah ruangan yang terdapat beberapa alat yang baru kali ini kulihat. Seorang dokter yang berbeda terlihat duduk di samping brankar yang jadi tempatku berbaring. Di depannya ada sebuah monitor dan alat ultrasonografi.

"Hasil tes darah Ibu Andini positif, tapi hormon HCG-nya sangat rendah," ucap dokter setelah terdiam membaca selembar kertas di tangan.

"Positif? Maksudnya istri saya hamil, Dok?" Pak Bima bertanya, suaranya terdengar tidak sabaran.

"Untuk itu Ibu Andini diUSG dulu, Pak." Sementara dokter berkaca mata itu melipat kembali kertas di tangan, asistennya mengoleskan gel di permukaan perutku bagian bawah. Setelah itu dokter mulai menggerakan alat ultrasonografinya.

"Bagaimana, Dok?" Pak Bima bertanya setelah cukup lama dokter terdiam tanpa mengalihkan tatapan dari monitor dengan tangan terus menggerakan alat USG di atas perutku.

"Ini ... ada sisa jaringan yang belum keluar bersama darah tadi." Dokter menjeda tanpa mengalihkan tatapannya dari layar monitor. Aku yang berbaring hanya bisa membeku tanpa bisa melihat apa yang ditunjukkan dokter pada Pak Bima.

"Maksudnya?" Suara Pak Bima terdengar bergetar, sedangkan genggaman tangannya terasa makin mengerat.

"Darah tadi bukan menstruasi seperti yang Ibu Andini kira. Di sini tampak jelas, Ibu Andini sempat mengandung, tapi janinnya tidak bisa bertahan. Dan perdarahan tadi telah mengeluarkan janinnya."

Waktu seakan berhenti saat dokter mengakhiri ucapannya. Dadaku terasa sesak setelah mampu mencerna keadaan dan menyadari kalau aku telah kehilangan janin yang telah tumbuh tanpa kusadari dalam rahimku.

Tubuhku membeku, seketika napasku terasa berhenti berembus. Jantungku pun seakan berhenti berpacu. Sunyi, aku seperti mendadak tuli dan tidak mendengarkan apa pun termasuk penjelasan dokter selanjutnya. Mataku terbuka, tapi aku seakan kehilangan kesadaran untuk beberapa saat hingga tersadar sudah kembali berbaring di ruang observasi tadi.

"Din ...." Akhirnya aku bisa mendengar suara Pak Bima dan merasakan usapan pelannya di kepalaku.

Aku mendongak dengan gerakan yang begitu kaku, memandang kosong ke arahnya.

"Maaf," bisiknya lalu menunduk seakan ingin mengecup pucuk kepalaku. Namun, belum sempat melaksanakan niatnya, tangan kananku yang tertusuk jarum infus lebih dulu terulur menampar pipi kirinya dengan sekuat tenaga.

"JANGAN SENTUH AKU!" Aku berteriak murka dengan mata yang basah. Napasku memburu melihat wajahnya yang tadinya putih berubah memerah dan berpaling ke kanan.

"Puas kamu? Kamu puas, kan lihat keadaan aku sekarang? INI KAN YANG KAMU MAU!" Aku menarik kemeja biru laut yang dipakai Pak Bima sejak pagi dan sudah kusut serta ada bercak darah di bagian perut.

"Din ...."

"Jahat kamu, Pak! Kamu senang, kan aku keguguran? Kamu senang, kan sekarang aku gak hamil jadi dengan mudah kamu lepaskan aku biar bisa kembali sama mantanmu itu!" Aku terus menarik-narik kemejanya dengan kasar hingga kancing teratasnya terlepas.

"Aku benci kamu, Pak! Aku benci kamu!" Aku menangis sambil melepaskan cengkramanku di bajunya dan mendorongnya menjauhiku.

Meski sempat menjauh, tapi akhirnya Pak Bima kembali mendekat dan memelukku yang terus memberontak.

"Lepas! Lepasin aku!" Aku memukul dadanya, mencakar lengannya dengan sekuat tenaga tapi dia tetap bertahan dan diam tanpa menyela.

Hatiku hancur sekali dan aku tidak ingin hancur lebih dari ini. Aku kalah, aku menyerah.

"Maafkan aku ...." bisikan Pak Bima sama sekali tidak menenangkan.

"Kamu masih mencintai Mbak Rani, kan?" balasku tidak kalah pelan. Aku tersenyum, lalu tertawa dengan air mata karena tidak mendapatkan jawaban darinya yang akhirnya melepaskan pelukan.

"Kembalikan aku kepada emak bapak. Dan kamu ... silakan ba-bawa pergi anak-anakmu dan kembalilah sama mama kandung mereka ...." Aku menatap Pak Bima tajam sambil menangis tersedu.

Sementara lelakiitu menatapku nanar dengan mata memerah. Namun, aku membuang muka, muak melihat tatapannya yang penuh kebohongan.

"Pergi! Tinggalin aku sendiri!" lirihku dengan suara bergetar. Dan Pak Bima benar-benar melakukan apa yang kupinta, meninggalkanku sendiri dalam kesunyian ruangan ini.

Aku memukul dadaku yang terasa sesak dan kembali menangis sejadi-jadinya. "Ya Allah, sakit ...."

🌼🌼🌼

Silakan baca cerita selengkapnya di KBM App dan karyakarsa ya. ❤


Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang