Hari berganti dan kulalui seperti biasa. Aku berusaha melupakan apa yang terjadi kemarin di rumah Pak Bima. Dan lelaki itu datang mengantar anak-anaknya ke sekolah dengan ekspresi datar seperti biasa. Menitipkan kunci rumah dan berpesan dengan wajah serius yang menyebalkan, karena mengingatkan agar kunci rumahnya jangan aku bawa pulang.
Sepulang sekolah setelah keponakan kembarku dijemput ayah mereka, aku pulang bersama Imran dan Syifa. Tidak langsung ke rumah, aku membawa mereka singgah di pasar dan membeli beberapa sayuran dan bumbu dapur. Aku ingin memasak untuk anak-anak manis itu. Lalu jika papa mereka setuju, maka aku tidak keberatan untuk mengasuh mereka sekaligus memasak. Tinggal disesuaikan saja nanti berapa gajiku tiap bulannya.
"Syifa makan dong ...." Untuk kesekian kali aku berusaha membujuk Syifa agar makan makanan yang baru kumasak. Ada sayur sop dan tempe serta tahu goreng yang sebelumnya kurebus dengan bumbu ayam goreng. Namun, yang terjadi Syifa terus menggeleng dengan bibir terkunci rapat.
Aku mengembuskan napas lelah, lalu melirik Imran yang sudah hampir habis makanannya. Namun, menyisakan sepotong tahu yang dia sisihkan. "Tahunya gak dimakan, Bang?"
"Gak suka," jawab Imran kemudian menyuapkan makanan terakhir dalam mulutnya.
"Yah ... Ibu sudah masak, tapi Abang Imran sama Syifa gak ada yang suka, ya? Kalau gitu, besok Ibu gak mau datang lagi deh. Ibu sedih," ucapku lesu, tapi dengan ekspresi yang dibuat senelangsa mungkin. Berharap anak-anak ini mau sedikit mengiba dan mau makan.
"Abang sudah habis nasi dan sayurnya. Tapi gak suka tahu," ucap Imran kemudian mendekatiku.
"Syifa juga mau makan. Tapi nasi sama telur ceplok ya? Jangan pake sayur. Gak suka." Syifa ikut menimpali, tangan mungilnya mulai terasa meraba tanganku.
"Tapi, kan Ibu gak bisa goreng telur. Ibu cuma bisanya masak sayur, tempe sama tahu aja," sahutku sambil pura-pura terisak. Entah datang dari mana ide akting di hadapan anak-anak ini. Yang pasti, aku tidak boleh gagal membuat mereka makan masakanku.
"Kalau Abang sama Syifa gak mau makan, Ibu pulang saja, ya? Nanti Ibu telepon Papa buat pamit ...." Aku berdiri, tapi tiba-tiba Syifa memeluk pinggangku dan berteriak memintaku jangan pergi.
Rasanya ingin tertawa, apalagi saat terasa tubuh mungil Syifa yang memelukku bergetar. Namun, saat tangisannya terdengar, hatiku terenyuh. Dan aku melirik Imran, ternyata bocah laki-laki itu sudah mengusap matanya yang memerah.
Astaga! Aku benar-benar keterlaluan mengerjai mereka.
"Ibu jangan pergi. Ini Abang makan tahunya," ucap Imran dengan suara parau lalu kembali duduk di kursi. Sudut bibirnya melengkung ke bawah saat mengambil tahu yang tadi disisihkannya, lalu melahapnya sambil menatapku dengan wajah memelas.
Ternyata Syifa yang masih memelukku juga menatap abangnya. "Ibu jangan pergi, Syifa juga mau deh, makan kayak Abang," ucap Syifa sambil sesenggukkan.
Aku berhasil!
Dengan sedikit drama aku berhasil menakhlukkan anak-anak Pak Bima yang antisayuran. Kuhadiahi kecupan sayang saat mereka menghabiskan makan siang buatanku. Lalu aku berjanji akan selalu menemani mereka di rumah menunggu papa mereka pulang, asalkan mereka selalu makan apa pun yang kumasak terutama sayuran.
💞
"Kamu masak?" tanya Pak Bima setelah memeriksa dapurnya. Menjelang Magrib dia baru pulang, jadi aku shalat dan bertahan di rumahnya hingga Magrib selesai.
"Iya, Pak. Tapi, ganti uang saya yang dipakai buat beli bumbu dapur dan sayur," sahutku santai sambil merapikan isi tas yang tercecer di sofa ruang tamu dan bersiap-siap untuk pulang. Di sana ada Imran dan Syifa yang fokus dengan film kartun si duo kembar berkepala botak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBIT
Художественная проза(18+) 'Beli satu, dapat dua.' Begitulah istilah dalam dunia periklanan. Istilah yang sama, tapi beda hal denganku. Aku tiba-tiba menikah dengan seorang bapak, langsung dapat dua anak. Yes, maksudnya aku nikah sama duren mateng dua anak. Duda, keren...