Bagian - 6

64.3K 4.3K 338
                                    

"Kalau gitu, saya pulang bilang emak dan bapak dulu di rumah. Dan cincinnya saya bawa," ucapku akhirnya setelah lama berpikir dalam diam.

"Kenapa dibawa cincinnnya?" Pak Bima tampak kecewa menatapku.

"Ya, buat jaga-kaga. Kali aja Pak Bima cuma main-main ...."

"Saya tidak pernah main-main untuk urusan seserius ini!"

"Serius jadiin saya istri?" Aku menekankan.

Lelaki itu mengembuskan napas kasar. "Ya, apa pun itu. Terserah kamu!"

"Ish, kok gitu sih, Pak? Serius gak nih sebenarnya? Biar saya juga enak ngomongnya sama orang tua di rumah ...."

"Iya, saya serius Andin! Saya serius mau menikahi kamu. Bagaimana?" ucapnya penuh penekanan dan terdengar kesal.

"Yes! Saya terima lamaran Anda, Bima Sakti. Nanti tunggu info dari saya kapan Anda harus ke rumah. Okey?" Aku tersenyum puas melihat wajahnya yang berusaha dibuat sedatar mungkin. Padahal bibirnya yang tipis itu sudah terlihat maju. Pasti dalam hatinya sedang mengumpat kesal.

Dasar laki-laki ini! Harga diri dan gengsinya keterlaluan!

Selepas Magrib aku pulang. Sementara setelah Isya' bapak baru pulang dari masjid. Saat berkumpul bertiga dengan emak di ruang makan, aku sedikit malu-malu dan gugup menceritakan lamaran Pak Bima yang sangat amat tidak romantis. Namun, respon orang tuaku tidak seperti dugaanku.

Ya, kupikir mereka akan mencecarku dengan segala macam pertanyaan tentang Pak Bima atau anak-anaknya. Atau mungkin menuduhku yang macam-macam hingga harus menikah dengan duda itu. Yang terjadi malah emak dan bapak tampak antusias ketika aku bilang sudah menerima lamaran Pak Bima dan tinggal menunggu restu mereka.

"Akhirnya kamu terima lamaran Pak Bima juga, Ndin." Ucapan emak membuatku penasaran.

"Maksudnya? Kok kesannya kayak emak dan bapak sudah tahu aku bakalan dilamar Pak Bima?" Aku beralih menatap bapak yang tetap tenang menyantap makannya.

"Saat Pak Bima datang ke sini minta izin ambil baju ganti kamu karena kamu harus rawat anak-anaknya yang sakit. Saat itu, setelah perkenalkan diri, dia langsung ngomong sama bapakmu. Katanya mau ngelamar kamu buat dijadiin istri dan ibu anak-anaknya ...."

"Hah? Jadi, waktu itu? Kok gak ada yang bilang?" Aku menyela ucapan emak karena kaget. "Terus gimana? Bapak langsung terima, gitu?"

"Sengaja bapak bilang emak supaya tidak cerita sama kamu dulu. Bapak bilang sama Pak Bima untuk melamar kamu langsung, jika kamu setuju, lamarannya waktu itu akan bapak pertimbangkan. Ya, dengan konsultasi sama kakak iparmu yang jadi perantara ...." Emak kembali menjelaskan bagaikan juru bicara bapak.

Ternyata semua ini ada andil besar Kak Faiz dan Mbak Luna. Sepasang suami istri yang sering bikin aku baper karena kelamaan jomblo itu sudah mengatur semuanya dengan sangat baik. Bahkan mereka berakting dengan sangat apik setiap kali aku menginap dan menceritakan betapa lucunya Imran dan Syifa sedangkan papa mereka begitu datar menyebalkan.

"Kenapa Mbak mau sih, jodohin aku sama Pak Bima? Dia kan duda dan aku adikmu lho, Mbak. Masih perawan asli," ucapku dalam mode serius saat keesokan hari pergi ke rumah Mbak Luna. Hari Minggu Kak Faiz di rumah, jadi waktunya kakakku me time.

"Kenapa ya? Hm, karena menurut Mas Faiz, sejak pertama kenal, Pak Bima itu laki-laki yang baik. Dia sama sekali gak banyak tingkah. Kayaknya, mirip-miriplah mereka. Bahkan setelah menduda Pak Bima lebih fokus ngurusin anak-anaknya, gak kayak duda gatel kebanyakan yang asal cari istri tanpa mikirin perasaan anak-anaknya ...."

Aku mengangguk lalu melihat celah dalam ucapan Mbak Luna. "Kalau Kak Faiz memang kenal sama Pak Bima udah lama, berarti kenal mantan istrinya, dong?"

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang