Bagian - 16

64.1K 5.3K 989
                                    

NOTE :

Cerita ini sudah tamat, tapi belum terbit cetak. Hanya saja sudah ada full versi novel online (pake POV 3, jadi yang penasaran dengan sudut pandang Bima bisa baca)
Kalian bisa baca di KBM App (cek link di Bio aku) atau Karya Karsa (akun Sahthree-Queenbee) dengan judul CINTA TERBAIK

🌼🌼

Gerimis yang tiba-tiba menitik tidak lantas membuatku menghentikan laju motor yang stabil dengan kecepatan sedang. Meski sempat bimbang akan ke mana, akhirnya aku memutuskan ke rumah Mbak Luna untuk menenangkan diri. Selain karena di sanalah yang paling dekat di antara rumah kakakku yang lain, dalam keadaan seperti ini pun tidak mungkin bagiku bertemu emak dan bapak.

Sepuluh menit berkendara aku sampai di tujuan. Tampak Kak Faiz baru keluar dari mobil dengan berpakaian rapi, mungkin baru pulang bersama si kembar dari sekolah. Aku memarkir motor di samping mobilnya sambil mengucap salam, kemudian masuk rumah tanpa menjawab pertanyaannya setelah membalas salamku.

"Din?" Mbak Luna muncul dari belakang sambil menggendong si bungsu Alifa. Dengan bingung dia menatapku dari ujung kepala sampai ujung kali berkali-kali.

"Aku nginap di sini, ya, Mbak," ucapku sambil mengusap mata yang terus berair.

"Nginap di sini?" Mbak Luna bergumam heran. "Tunggu, bukannya hari ini di sekolah Syifa perpisahan, ya? Si kembar juga baru pulang sama ayahnya. Kok, kamu gak ikut temani anakmu di sekolah?"

"Aku gak ikut, Mbak!" Nyeri perut yang tidak kunjung reda membuat emosiku makin tidak terkendali. Aku langsung ke kamar Nafa di belakang tanpa menghiraukan panggilan Mbak Luna yang akhirnya dihentikan suaminya.

"Mami! Kok, tadi Mami gak ikutan ke sekolah? Tadi Mbak Na sama Syifa nari, lho." Nafa langsung menyambutku saat aku masuk kamarnya.

Aku menghela napas berkali-kali lalu mengusap wajah sekali lagi. Kemudian mengajak Nafa duduk di tempat tidurnya. Aku tersenyum, meski dalam hati terasa begitu sakit saat menatap kembaran Alfa ini yang mengingatkanku pada Syifa. Namun, aku menguatkan diri dan berpikir bahwa Syifa maupun Imran akan baik-baik saja bersama kedua orang tua kandung mereka seperti yang kulihat di foto kiriman Mbak Rani tadi. Bukan bersamaku ... yang hanya ibu sambung.

"Sayang banget tadi Mami gak bisa lihat, padahal Mami penasaran banget, Mbak," ucapku dengan antusias yang dibuat-buat.

"Beneran ya, Mami sakit? Tadi Syifa bilangnya gitu, jadinya dia ditemani sama sama papa mamanya," sahut Nafa dengan polos.

Aku mengangguk pelan. "Iya, tadi Mami gak enak badan, Mbak."

"Tadi Ayah bawa kamera yang gede, disuruh sama Mama buat foto-foto dan videoin Mbak Na nari tadi. Nanti Mami lihat, ya?" Nafa tersenyum lebar, membuat nyeri di hati makin menyiksa. Lagi-lagi aku teringat Imran dan Syifa. Aku hanya mengangguk lemah dengan senyum yang semakin sulit kusunggingkan.

"Mami ke sini sendiri, ya? Gak sama Syifa dan Abang Imran?" Nafa kembali bertanya, menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, Mbak."

"Padahal tadi Syifa sama Abang Imran dan papa mamanya pulang duluan ...."

Aku tersenyum getir mendengar ucapan Nafa. Dalam hati berbisik sedih, 'Tentu saja mereka pulang duluan karena akan makan siang bersama.'

"Mami, Mbak Na mau makan. Mami suapin, ya?" Seperti kebiasaannya ketika dulu aku menginap di sini sebelum menikah, Nafa akan selalu memintaku menyuapinya karena berpikir perhatian mamanya selalu terfokus pada Nafisah.

"Mami masih gak enak badan. Mbak Na makan sendiri aja, ya? Malu dong, sama Nafis yang sudah bisa makan sendiri." Dengan berat hati kutolak permintaan Nafa karena belum siap satu meja dengan Mbak Luna dan Kak Faiz yang pastinya akan mencecarku.

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang