Bagian - 9

79.5K 4.6K 519
                                    

Benarkah Pak Bima menginginkanku?

Satu kalimat yang terus berputar di kepala setelah Mbak Luna mengakhiri bisikannya yang panjang lebar. Sampai akhirnya ibu empat anak itu keluar meninggalkanku sendiri, lalu tidak lama Imran dan Syifa datang menghampiri bersama papa mereka yang terus memenuhi pikiranku.

Setelah Isya', aku dan Pak Bima pamit pulang pada Mbak Luna dan Kak Faiz serta emak bapak dan Ibu Ratna--ibunya Kak Faiz. Anak-anak sudah terlelap di jok belakang karena lelah seharian aktif bermain, sedangkan aku duduk di samping Pak Bima yang mengemudi. Dalam diam dan gelapnya malam, sesekali aku melirik lelaki itu dan kembali membuat batinku bertanya-tanya sepanjang jalan.

Apa benar yang dikatakan Mbak Luna? Benarkah Pak Bima menginginkanku?

Sampai di rumah, Pak Bima menggendong Imran sedangkan aku membawa Syifa ke kamar. Sementara dia kembali keluar untuk memarkir mobil dengan baik, aku bergegas mengganti gamis biru yang seharian melekat di tubuh dengan daster ungu. Lalu berbaring bersama anak-anak ketika Pak Bima kembali masuk kamar. Dalam diam aku memperhatikannya menutup pintu, tak berkedip saat melihatnya membuka baju koko biru dengan kaos hitam santai dan celana pendek selutut. Meski bukan pertama kali melihatnya ganti baju dan melihat tubuh polosnya, tetap saja ada yang menggelitik di perut dan menjalar perlahan menggetarkan sekujur tubuh.

"Kenapa lihatin saya terus?"

Aku terkesiap kaget saat Pak Bima sudah berbaring di samping Syifa yang memelukku. Dengan salah tingkah aku menggeleng pelan tanpa suara, lalu berusaha memejamkan mata sambil mencium dan mengecup rambut Syifa yang menguarkan aroma segar khas anak-anak.

Beberapa menit kantuk tidak kunjung membawaku dalam lelap. Mata mengerjap pelan, lalu pandanganku terkunci pada Pak Bima yang berbaring menyamping menghadapku dan masih ... menatapku lekat.

"Kenapa belum tidur? Malah lihatin saya terus, Pak?" Akhirnya aku tidak tahan untuk bersuara setelah beberapa lama kami bertatapan dalam diam.

Pak Bima terlihat kaget, lalu memperbaiki baringnya yang memeluk guling tanpa berpaling dari posisinya menghadapku. "Saya mau tidur. Tapi kamu malah negur. Susah tidur, kan jadinya saya?"

"Kok jadi saya yang salah?" balasku tidak terima.

"Sudah, tidur! Jangan berisik, nanti anak-anak malah kebangun!" Pak Bima tampak tenang memejamkan matanya, membuatku cemberut melihatnya dan mulai ragu dengan apa yang dikatakan kakakku tadi.

Pak Bima menginginkanku? Kok makin gak yakin, ya?

🐝

Aku kembali dalam rutinitas keseharian mengurus rumah dan anak-anak serta Pak Bima di sela kesibukan pindah rumah yang kembali berlanjut. Sebenarnya tidak banyak barang yang diangkut ke rumah baru, karena rumah yang disewa Pak Bima selama kurang lebih 5 bulan sejak pindah tugas di sini dilengkap berabotan rumah tangga. Pak Bima hanya membeli 1 buah lemari baju ukuran besar dan 2 ukuran kecil untuk anak-anak serta single bed di kamar belakang.

Jadi, yang menyita waktu dan perhatianku dalam proses pindah rumah ini adalah memilah dan memilih perabotan baru untuk mengisi rumah. Kesibukan itu pun membuatku lupa dengan apa yang pernah dikatakan Mbak Luna minggu lalu tentang kemungkinan isi hati Pak Bima yang menginginkanku. Apalagi setelah tinggal satu hari di rumah baru, tidak ada yang berubah dari Pak Bima. Bahkan mungkin dia lupa dengan ucapannya waktu itu yang ingin bicara denganku setelah pindah.

Lelah usai mengunjungi berbagai toko di sudut kota untuk berbelanja segala macam barang yang dibutuhkan di rumah, Pak Bima membawaku dan anak-anak makan malam di sebuah restoran yang menyediakan menu ayam bakar seperti keinginan si bungsu. Setelah menata makanan yang diangsurkan pelayan pada Imran dan Syifa, aku menggeser posisi duduk hingga berhadapan dengan Pak Bima yang begitu khusu dengan makanannya.

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang