Bagian - 2

84.1K 4.5K 163
                                    


Hari mulai gelap, tapi rumah masih ramai oleh keluarga kecil kakak-kakakku yang masih tinggal setelah resepsi siang tadi. Selepas Maghrib, ruang tengah berukuran 5x4 meter berdekorasi khas pernikahan nuansa pink putih, yang jadi saksi bisu ijab kabul Pak Bima atas diriku tadi pagi masih lengang karena hanya diisi anak-anak yang asyik ngemil.

Aku keluar kamar, langsung duduk di sudut ruangan tanpa bisa bergerak diapit Imran dan Syifa yang sibuk melahap brownis dan es buah. Meladeni ocehan anak-anak seperti biasanya saat acara kumpul keluarga di sini. Lagipula kata Mbak Tia, ini acaraku. Jadi, aku hanya perlu duduk bersama anak-anak sembari menunggu para lelaki kembali dari masjid.

Baru setelah Isya' ruangan ini benar-benar sesak. Bapak berserta kakak dan para kakak iparku sudah ikut bergabung untuk makan malam. Aku tetap di tempat masih dengan anak-anakku, sedangkan para keponakan yang tadi mengerumuniku telah berpencar kembali pada ibu mereka. Meninggalkan ruang yang kini diisi Pak Bima dan Bapak.

"Ambilkan untuk suamimu dulu, Din," tegur Bapak tiba-tiba menghentikanku yang baru menyendok nasi. Mungkin karena melihat porsi yang sedikit di piring, Bapak tahu kalau aku berniat mengambilkan makan untuk anak-anak.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa ambil sendiri, yang penting anak-anak dulu diawasi makannya." Pak Bima menyela dengan sopan sebelum aku buka suara.

Akhirnya aku diam melihat Bapak mengangguk, lalu mempersilakan menantu barunya itu untuk makan. Bapak selalu begitu sama semua menantunya. Bukan hanya Bapak, Emak pun demikian. Baik banget seperti sama anak sendiri, makanya para menantunya betah kumpul di rumah ini.

"Anak itu penting, tapi kewajiban dan hak suami istri juga penting. Harus seimbang, bahkan untuk urusan sepele seperti ini bisa mempererat hubungan suami istri," ucap Bapak sebelum memulai makannya.

Tanganku yang memegang sendok berisi nasi dan lauk terhenti di udara. Ucapan Bapak seperti tamparan buatku, mengingat bagaimana rumah tangga yang akan kujalani dengan Pak Bima nanti. Dan entah lelaki itu merasa tersindir atau tidak, yang jelas aku melihatnya sudah mulai makan dengan tenang sambil sesekali tersenyum mendengarkan ucapan Bapak yang entah masih melibatkanku di dalamnya atau tidak.

"Ibu!" Suara Syifa dan gerakannya yang menyerobot sendok di tangan mengagetkanku. "Adek capek mangap terus," protesnya dengan pipi mengembung dan bibir mengerucut.

Aku tersenyum, lalu kembali menyuapi ayam goreng kesukaannya. Senyum gadis kecil itu dan abangnya selalu mampu mengalihkan duniaku, termasuk pikiranku tentang ucapan Bapak tadi.

Jam sembilan malam, belum ada tanda-tanda kakak-kakakku akan pulang. Namun, aku harus pamit lebih dahulu karena Syifa sudah jatuh tertidur dalam pelukan. Pak Bima segera mengambil alih putri bungsunya itu, sedangkan aku menggandeng Imran ke kamar.

"Din, kalau anak sudah tidur, kamu jangan ikutan tidur juga! Hadiahnya Mas dipakai dulu!" Suara Mas Deni menghentikan langkahku di depan pintu kamar, begitu pun dengan Pak Bima.

"Mas Deni!" Aku mendelik murka, tapi tidak ditanggapi bapak dua anak tersebut yang justru mendekati Pak Bima.

"Kamu itu sakti, Bim. Pasti bisa bikin si cabe rawit ini jadi manis." Lagaknya berbisik, tapi suara Mas Deni bisa didengar semua yang ada di ruang tengah yang langsung terbahak. Bahkan Pak Bima ikut tersenyum.

Aneh! Di pelaminan tadi bibirnya lurus aja. Sekarang dibencandain kakak ipar pakai sok mesem segala! Untung Imran yang sudah menguap dan mengucek mata ini masih kecil, sehingga aku tidak perlu malu padanya.

"Buruan masuk, Pak!" Aku mendorong bahu Pak Bima pelan dari belakang.

"Masuk ke mana, Din?" celetuk Mas Deni lagi yang kubalas dengan tatapan garang, tapi memang selalu tidak mempan untuknya. "Jangan main kasar, Bim. Pelan-pelan aja!"

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang