Bagian - 7

70.3K 4.7K 512
                                    

VOTE DULU, YA!

Berhari-hari sudah kujalani sebagai istri dan seorang ibu. Rasanya menyenangkan jadi ibu dari Imran dan Syifa yang begitu sayang dan membutuhkanku, berbanding terbalik dari yang aku rasakan sebagai istri Pak Bima. Sengsara? Tidak juga.

Pak Bima sangat tanggung jawab. Semua gaji yang dia janjikan saat melamarku, benar-benar diserahkan. Buku rekening dan ATM pun ada di tanganku. Jika dia butuh uang, dia akan minta. Makan siang selalu di rumah meski kadang tidak bisa jemput anak-anak. Hari libur pun dia di rumah. Main sama anak-anaknya dan menemaniku ke pasar. Suami idaman, bukan?

Lalu, mengapa aku tidak bahagia? Apakah memang bisa, aku bahagia jadi istri dari lelaki sedatar talenan itu? Senyum tidak pernah, irit bicara, tapi kalau digoda sedikit ngomelnya bisa saingan sama emak.

Fiyuh! Terkadang adek lelah, Bang!

Aku bingung harus pakai cara apa untuk menakhlukan puncak gengsinya yang setinggi Himalaya. Tidak mungkin, kan aku pakai lingerie pemberian Mas Deni? Toh, malam setelah menikah dia bilang aku tidak cocok pakai baju kurang bahan itu. Kalau dipikir-pikir, ternyata seburuk itu pesonaku di mata Pak Bima. Jadi, mana berani aku menggodanya selain lewat kata?

"Hari ini Papa sibuk, Ibu jemput Imran dan Syifa, ya? Tapi jangan pakai motor, naik taksi aja," ucap Pak Bima ketika duduk di ruang makan, bergabung dengan anak-anak yang sudah sarapan lebih dulu. Panggilan Papa dan Ibu secara otomatis selalu terucap oleh kami di depan anak-anak agar mereka tidak bingung.

"Makan siang di rumah?" tanyaku sambil menyiapkan bekal makan Imran dan Syifa.

"Sepertinya tidak. Nanti makan di kantor saja," sahut Pak Bima sambil menyesap teh tawar yang kubuat. Sejak resmi jadi istri, Pak Bima tidak aku biarkan mengkonsumsi kopi jenis apa pun. Dan beruntung, lelaki yang usianya sepuluh tahun lebih tua dariku itu tidak protes.

Ah, beruntunglah aku masih ada satu hal manis darinya. Penurut untuk hal-hal yang baik.

"Nanti tungguin Ibu, adeknya dijagain, ya Bang?" Setelah sarapan, aku menyerahkan kotak bekal Imran yang diterimanya dengan anggukan kemudian mencium punggung tanganku. Lalu aku beralih pada Syifa, menyusun kotak bekalnya dalam tas dan mencium pipinya dengan gemas. Setelah pamitan padaku, kedua bocah itu langsung berebutan masuk mobil untuk duduk di samping kemudi.

"Nah, yang ini bekal buat Papa Bima." Aku menghampiri Pak Bima yang baru selesai memakai sepatunya.

"Bekal?" Lelaki itu mengernyit menatapku dan kotak makan warna merah di tanganku bergantian.

"Ya, kan katanya gak makan siang di rumah. Jadi, ini sudah saya siapin."

"Saya tidak makan di rumah, tapi bukan dibekalin makanan juga, kan? Saya bisa makan di kantor nanti," ucap Pak Bima kemudian berdiri. Aku pun mengikuti dan menghadang langkahnya.

"Pokoknya bawa bekalnya! Nanti di kantor makan sama-sama dengan kakak ipar saya!" tegasku sambil menyodorkan kotak bekal sampai menyentuh dadanya.

"Kamu kira saya masih SD kayak Imran dan perlu bawa bekal makan? Ada-ada saja kamu!" tolaknya tidak kalah tegas.

"Kenapa gak? Kakak ipar saya aja tiap hari bawa bekal dari rumah dimasakin sama kakak saya." Aku masih tetap tidak mau kalah dan tidak kunjung menyingkir dari hadapannya.

"Saya tetap tidak mau! Sudah, saya berangkat sekarang. Nanti anak-anak terlambat!" Tanpa bisa dicegah, Pak Bima meraih tanganku dan memaksaku untuk mencium punggung tangannya. Lalu dia bergegas keluar rumah dan masuk mobil. Tanpa peduli aku yang masih menggerutu, dia menjalankan mobilnya untuk mengantar anak-anak lebih dulu.

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang