Hai, hai!
Yang nagih-nagih si Andin mana, nih? Awas kalo gak VOTE, aku ngambek! 😏
💞
Aku menguap lebar ketika mata mengerjap pelan. Pegal terasa menjalari sekujur tubuh sebagai tanda berakhirnya kesibukanku mempersiapkan diri mengakhiri masa lajang dan awal aku memulai hidup baru.Lelah ditambah dingin yang merayapi kulit adalah alasan yang tepat untukku kembali dalam lelap dan melalaikan kewajiban sebagai makhluk Allah. Namun, melihat dua bocah yang akhirnya benar-benar tidur dalam pelukan sepanjang malam membuat kedua mata terbuka sempurna. Dan aku ingat, ada seseorang lagi yang jadi tanggung jawabku sejak kemarin bapak menyerahkanku padanya.
Tanganku meraba nakas di sebelah kiri ranjang, mengambil ponsel yang seharian kemarin tidak tersentuh. Entah jam berapa semalam aku tertidur setelah Pak Bima membungkamku dan aku harus membiasakan diri dengan kebiasaannya. Kini jam digital di layar datar 5 inchi tersebut menunjukkan pukul 04:00 dini hari, 30 menit lagi menjelang Subuh. Rasa malas membuatku enggan beranjak dari selimut dan pelukan anak-anak. Kemudian memilih berselancar di dunia maya, membalas pesan masuk dari beberapa aplikasi chatting dari teman-teman lama yang tidak bisa hadir di acara kemarin karena berbagai halangan.
Ketika azan Subuh terdengar, aku langsung menyimpan ponsel kembali di nakas. Memperbaiki tidur Imran dan Syifa, lalu berbalik menatap papa mereka yang terlelap tanpa terganggu sedikit pun oleh pergerakanku sejak tadi. Sejenak menatap Pak Bima, bingung bagaimana cara membangunkannya. Maklumlah, tadi malam adalah malam pertama kami. Dalam arti tidur bersama sekamar dan seranjang, meskipun harus tidur berempat ndusel-nduselan di ranjang sempit ini.
Berbisik, menepuk pipinya, menepuk dan mengguncang bahunya berkali-kali telah kulakukan meski harus menahan hajat. Namun, Pak Bima tetap tidak bergeming dalam tidur.
Ini laki aku tidur atau pingsan, ya? Susah amat dibangunin!
"Pak bangun!" Sekali lagi aku menepuk bahu Pak Bima yang tidur memeluk gulimg memunggungiku. Hampir sepuluh menit berlalu setelah azan Subuh, tapi dengkurannya masih saja terdengar.
Sekuat tenaga menahan mulas karena ritual pagi belum tersalurkan, dengan sedikit keras aku menarik bahu Pak Bima yang akhirnya berbalik. Dan ... wajah tampannya terpampang begitu dekat di depan mata.
Eh, tunggu. Apa kata hatiku tadi? Tampan?
"Apa sih, berisik sekali!"
Mataku mengerjap cepat, tersadar mendengar gerutuan Pak Bima yang parau. Seketika panas terasa menjalari kedua pipi saat menyadari posisi wajah kami yang begitu dekat. Bahkan aroma aneh napasnya langsung menusuk indera penciumanku.
Dengan pengendalian diri yang baik aku berdeham pelan dan segera menjauhkan wajah. "Bangun! Sudah Subuh! Ketinggalan jamaah di masjid, tuh!"
Pergerakan Pak Bima yang tiba-tiba bangun membuatku tersentak dan terhuyung ke belakang. Dia tampak gusar mengusap wajah yang membuat ketampanannya memudar, sedikit.
"Kenapa tidak bangunkan saya dari tadi?"
"Lah, situnya aja yang tidur kayak kebo. Capek saya tuh, bangunin dari tadi sebelum azan!" Sejenak aku menahan napas, lalu meloloskan sesuatu yang sejak tadi tertahan kemudian segera turun dari ranjang.
"Ah, ya sudahlah. Kamu duluan yang mandi atau saya?"
"Ya saya duluanlah!" Aku langsung bergegas menuju pintu kamar dan membukanya.
"Din!"
"Ya?" Aku menoleh sebelum keluar.
"Kamu kentut?" Pak Bima menatapku horor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBIT
Ficción General(18+) 'Beli satu, dapat dua.' Begitulah istilah dalam dunia periklanan. Istilah yang sama, tapi beda hal denganku. Aku tiba-tiba menikah dengan seorang bapak, langsung dapat dua anak. Yes, maksudnya aku nikah sama duren mateng dua anak. Duda, keren...