Bagian - 10

88.8K 4.4K 580
                                    

SEKILAS INFO :

Cerita ini belum terbit novelnya versi cetak, tapi yang gak sabar dan ingin tahu lengkapnya kisah ini versi novel (POV 3) (judul novel : Cinta Terbaik) kalian bisa baca di aplikasi KBM App. Kalo bingung, cari aja linknya di Bio aku di profil WP ini. Makasih

Warning : 18+!

🐝

Aku menghirup udara dengan rakus ketika Pak Bima berhenti menyengat bibirku yang terasa kebas. Aku mengerjap, melihatnya beranjak mengunci pintu lalu kembali mendekatiku.

"Pak ...," lirihku tanpa tenaga ketika Pak Bima mengangkat tubuhku dan dibaringkan dengan baik di tengah ranjang.

"Ya?" Dia menjawab sambil ikut naik di ranjang dan kembali menindihku. Bibirku kembali disengatnya seperti tadi, tapi kini terasa lebih lembut membuatku tidak kuasa memejamkan mata dan tidak menolak apa pun sentuhannya.

"Pak ... anak-anak gi-mana?" Dengan napas terengah aku bersuara saat bibirnya meninggalkan bibirku. Sengatannya beralih di rahang, lalu lidahnya terasa bermain-main di leherku. Sungguh, rasanya geli membuatku menggeliat seperti cacing kepanasan.

"Tenang aja. Mereka ketiduran depan TV," ucap Pak Bima di tengah kesibukannya dengan leherku.

Kepalaku pening, berkali-kali tubuhku bergetar merasakan sensasi aneh yang menyerang akibat sentuhan tangan dan bibir Pak Bima. Inginnya berteriak, tapi bibirku hanya bisa terbuka dan mengeluarkan suara sumbang yang aneh.

Tiba-tiba tangan Pak Bima yang tadi bergerak kasar di atas dadaku, bergerak membuka resleting gamisku. Lalu meraih ujung gamis bagian bawah dan dengan sedikit paksaan, dia melepaskannya dari tubuhku. Kini, untuk pertama kalinya seorang lelaki melihat tubuhku yang hanya berbalut pakaian dalam. Dan dia adalah Bima Sakti, suamiku.

"Pak! Ih ... apaan lihat-lihat! Malu!" Aku malu, berusaha mendorong dadanya yang hanya diam terpaku menatapku. Lalu meraih selimut di ujung ranjang. Namun, gerakanku kalah cepat dengan Pak Bima yang menghempaskan selimut ungu tersebut di lantai.

"Tidak usah pakai selimut." Pak Bima menekuk kedua kakiku, lalu berlutut di tengahnya. Dia membuka kaus birunya cepat, serta celana pendek hitam selutut ditanggalkannya asal.

Aku mendelik kaget melihat sesuatu di bawah perutnya, lalu segera memalingkan wajah yang terasa panas ke kanan sambil menahan napas.

"Saya ingin kamu jadi istri saya sesungguhnya, Din. Jadi tidak usah malu," bisik Pak Bima dengan suara parau, lalu menggigit cuping telingaku. Menimbulkan sensasi aneh yang kembali menyerang tubuhku.

Aku langsung teringat perkataan Mbak Luna tempo hari. Jadi ... inikah maksudnya. Pak Bima benar-benar menginginkanku?

Belum lama berpikir, tanpa sadar tubuhku sudah benar-benar polos tanpa sehelai benang pun. Entah ke mana Pak Bima membuang pakaian dalamku. "Pak, tunggu dulu ...."

"Ada apalagi?" Suara Pak Bima terdengar tidak sabar, tapi tangannya tidak berhenti bergerak ke sana kemari.

"Takut ...." Aku menggigit bibir, merasakan sentuhan tangan Pak Bima yang sedikit sakit di dadaku.

"Tidak usah takut. Saya akan pelan-pelan. Saya janji, sakitnya tidak akan lama." Pak Bima kembali menyengat bibirku, melumatnya dengan lembut cukup lama.

Nasehat Mbak Luna terngiang, bahwa aku tidak boleh menolak keinginan suami. Aku akan berdosa jika menolak hak Pak Bima ini. Namun, aku kembali tersadar mengingat apa yang akan kami lakukan.

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang