Bagian - 4

69.4K 3.9K 223
                                    

Apa yang disarankan kakakku kemarin benar-benar dilakukan Pak Bima. Lelaki itu datang keesokan harinya mengantar Imran sampai di kelas dan ... mencariku.

"Ini baju ganti Imran dan Syifa. Snack dan susu mereka juga ada di dalam." Pak Bima menyerahkan sebuah ransel berukuran besar yang kuterima dengan bingung. "Hari ini saya sibuk, jadi mungkin akan terlambat jemput di rumah Pak Adrian. Tolong beri pengertian pada anak-anak saya. Terima kasih." Lanjutnya kemudian berlalu pergi tanpa menunggu responku.

Menolak? Tentu saja aku tidak bisa!

Meski dalam hati masih keheranan dengan tingkah Pak Bima yang seenaknya, aku kembali melanjutkan aktivitas mengajar hari itu. Dan entah apa yang terjadi, Imran sudah tidak malu-malu lagi padaku. Ketika istirahat, bocah enam tahun itu menghampiriku dengan membawa kotak bekal makannya yang berisi roti bakar berselai cokelat.

"Ini siapa yang buat?" Aku bertanya ketika menerima roti yang diberikan Imran.

"Papa," jawabnya sambil tersenyum, kemudian makan dengan lahap.

Aku juga tersenyum, geli memperhatikan roti buatan papanya yang cukup berantakan. Katanya roti bakar, tapi lebih mirip roti setengah hangus dengan dengan selai cokelat meluber ke mana-mana.

"Adek Syifa ada bekalnya juga?" Aku kembali bertanya setelah menghabiskan roti yang ternyata ... lumayan enak di lidah.

"Iya. Tapi nasi sama telur ceplok. Soalnya adek cepet banget laparnya."

"Papa juga yang masak?" Aku bertanya lagi untuk menuntaskan rasa penasaran yang makin tidak terkendali. Imran hanya mengangguk tanpa menjawab.

"Terus, mamanya Imran ke mana?" Entah kenapa pertanyaan itu lolos dari bibirku begitu saja, hingga aku menyesal karena telah membuat bocah tampan itu menghentikan makannya.

"Gak tau!" jawabnya ketus.

Tanganku langsung mengusap kepala Imran cepat, berusaha menenangkan bocah itu yang tiba-tiba kesal. Meski dalam hati tetap bertanya-tanya. Emaknya ke mana, sih? Anak-anak cakep dan cantik gini kok, ditinggal sama bapaknya yang gaje itu!

Untunglah apa yang kulakukan berhasil menenangkan Imran. Lalu aktivitas kami hari itu kembali berlanjut hingga waktunya pulang sekolah. Bukan hanya Imran yang berubah, adiknya pun tanpa malu-malu meminta perhatianku saat kami sedang menunggu jemputan.

Ketika Kak Faiz datang menjemput mereka, Syifa berbalik dan berbisik padaku. "Ibu nanti ke rumahnya Nafa, kan?"

Aku tersenyum bingung, tapi akhirnya mengangguk pelan. Dengan antusias Syifa mencium punggung tanganku lalu kembali berlari menyusul Kak Faiz dan yang lain.

💞

"Din! Itu anak-anaknya Pak Bima nungguin kamu. Dari tadi Mbak bujuk mau gantiin baju, tapi merekanya gak mau."

Baru saja aku tiba, langsung disambut curhatan Mbak Luna di ruang tamu. Di sana hanya ada Alfa serta Imran yang masih memakai baju seragam sekolah. Mereka tampak asyik berbaring sambil nonton kartun.

"Syifanya mana, Mbak?"

"Ada di kamarnya Nafa."

Aku langsung bergegas ke kamar Nafa di belakang. Sejak mau punya adik lagi, si kembar sudah tidur terpisah dari orang tua. Mereka punya kamar masing-masing yang dipetak dalam satu ruangan yang dulunya adalah kamarku selama ikut mengasuh mereka.

Pintu kamar Nafa, si gadis kesayanganku itu tidak tertutup, aku sedikit melongokan kepala. Terlihat Nafa sudah tidur sambil memeluk guling warna kuning. Sementara Syifa di samping masih terjaga. Gadis berusia lima tahun itu memainkan jemarinya seperti sedang berhitung.

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang