Bagian - 14

61.9K 4.5K 709
                                    

Hai,

Apa kabar?

Cerita ini lebih lengkapnya ada di KBM App.
Silakan cek link di Bio WP aku.
Terima kasih, Happy Reading.

🌻🌻🌻

Jika bicara sudah tidak didengarkan, apa yang bisa dilakukan selain diam? Bagiku, diam adalah senjata terakhir menghadapi keegoisan Pak Bima. Terserah apa yang ingin dilakukan bersama mantannya di luar sana, yang pasti aku harus tetap baik-baik saja di sini bersama anak-anak.

Aku keluar setelah cukup lama menenangkan diri dalam kamar. Menghampiri Imran dan Syifa yang menyambutku riang seakan tidak terpengaruh dengan kehadiran mama kandung mereka tadi. Bersama anak-anak itu, aku mampu melupakan kekesalanku kepada dua makhluk yang membuat mereka terlahir ke dunia. Kami makan bertiga, setelah itu seperti biasa menghabiskan waktu dengan berbaring di depan tv sampai tertidur hingga Asar menjelang.

"Ibu, Tante itu sebenarnya siapa, sih?"

Aku yang hampir tertidur, kaget mendengar pertanyaan Imran, lalu menoleh padanya yang berbaring di samping sambil menatapku serius. "Tante ... siapa, Bang?"

"Tante yang tadi datang sama Papa jemput Abang sama Adek di sekolah."

Aku menggaruk kepala bingung. Kukira dengan pulang bersama tadi, anak-anak sudah mengenal mama kandung mereka dengan baik. Ternyata Imran masih memanggilnya 'tante'.

"Itu ...."

"Kenapa Tante itu ngaku jadi mamanya Abang sama Adek, Bu? Memangnya Abang sama Adek beneran punya mama kayak Alfa sama Nafa, ya?"

Aku benar-benar bingung harus menjelaskan apa. Dan takut penjelasanku nanti akan menyakiti mereka. Atau yang lebih parah, akhirnya mereka malah membenciku karena aku bukanlah wanita yang mengandung dan melahirkan mereka.

"Ibu ... Abang gak mau punya mama baru. Abang maunya sama Ibu ...."

Tanpa melepaskan Syifa yang sudah tidur, aku menarik Imran dalam pelukan. Memeluk dua anak itu untuk menenangkan diriku sendiri yang masih sakit hati karena perlakuan Pak Bima dan kebohongannya pada kakakku tadi. Seandainya Pak Bima adalah duda tanpa anak, aku tidak akan bertahan lama dengan laki-laki datar itu.

Aku mengusap rambut anak-anak lalu mengecup mereka satu persatu dengan bibir bergetar. "Abang gak boleh nangis. Anak laki-laki itu gak boleh cengeng. Ibu di sini kok, gak akan ke mana-mana," bisikku menenangkannya.

Tidak ada jawaban dari Imran yang hanya mengangguk dan tetap memelukku. Sampai beberapa menit bergulir, deru napasnya terdengar teratur menandakan bahwa bocah yang beberapa bulan lagi genap berusia tujuh tahun itu telah lelap seperti adiknya.

Apakah aku adalah wanita yang jahat kalau memisahkan dua orang anak dari ibu kandungnya? bisik hatiku sedih. Rasa kantuk yang tadi terasa, menguap tidak tersisa. Membuatku tetap terjaga sambil memeluk dua bocah lugu yang sangat kusayangi ini.

🌻🌻🌻

"Cuma mau memastikan saja. Soalnya aku baru aja ketemu Bima bersama seorang wanita. Katanya mantan istrinya, kamu kenal? Dia bilang kamu sakit dan mereka keluar untuk beli makan."

Sial!

Kata-kata Mas Deni tadi siang tiba-tiba saja terngiang membuat nafsu makanku hilang seketika. Aku meletakkan sendok saat baru saja menyuap sesendok nasi dalam mulut, lalu menegak segelas air putih dengan cepat untuk mendinginkan panas dalam dada. Aku mendongak, menatap lurus Pak Bima yang sedang makan dengan rakus seperti orang yang seharian tidak makan.

Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang