VOTE DULU DONG, SEBELUM BACA.
💞
Acara sakralku melepas masa lajang berakhir ketika hari menjelang Asar. Lelah, letih dan ngantuk karena harus mempersiapkan diri sebelum Subuh. Halaman rumah yang tidak terlalu besar terpasang tenda biru tempat resepsiku berlangsung tadi masih ramai, menyisakan keluarga besarku dari emak dan bapak di sana. Tanpa keluarga besar Pak Bima.
Baiklah, jadi begini. Lelaki yang menikahiku itu adalah yatim piatu sejak kecil. Entah tepatnya sejak umur berapa. Kakak ipar tempatku mengorek segala info tentangnya juga tidak tahu pasti. Ingin bertanya langsung, aku pun sungkan. Mengingat alasan pernikahan kami terjadi bukan karena cinta atau kedekatan antara dua manusia dewasa. Semua murni karena anak-anak. Aku jatuh cinta pada anak-anaknya, sedangkan dia butuh ibu untuk anak-anaknya.
Kompromi yang bagus, bukan?
Aku bergegas meninggalkan kumpulan keluarga dan masuk rumah, langsung menuju kamarku yang telah dihias ala-ala kamar pengantin baru bernuansa merah muda. Dibantu penata rias yang menyulap penampilanku jadi aneh tapi cantik, aku membersihkan riasan dan melepaskan baju pengantin yang membuat kegerahan, serta pantat dan kaki terasa pegal karena duduk berdiri berjam-jam meladeni tamu yang datang. Setelah setengah jam berlalu, penampilanku kembali seperti biasanya. Aku langsung bergegas untuk shalat Asar.
"Ibu!" Samar terdengar suara bocah yang tidak asing lagi dari balik pintu kamar yang tertutup ketika aku selesai mengucap salam.
Aku yang masih memakai mukena, beranjak dari duduk lalu membuka pintu. Syifa dan Imran berdiri dengan wajah cemberut menatapku.
"Syifa sama Abang kok, ditinggal?" protes Syifa sambil meraih sebelah tanganku dengan manja.
Aku tersenyum. "Tadi Adek masih main sama Nafa. Jadi, Ibu biarin aja." Sebelah tanganku yang bebas meraih tangan Imran dan membawa dua anakku itu masuk.
"Ibu itu kadonya siapa?" Mata Syifa begitu jeli melihat tumpukan kado di lantai kamar yang dilapisi karpet berwarna sama dengan dekorasi kamarku. Padahal aku sendiri tidak menyadari keberadaan kado-kado itu sejak tadi.
"Itu kadonya Ibu," jawabku sambil menggiring mereka ke ranjang yang berbalut kain menyala warna merah muda.
"Kita buka ya, Bu ...," rengek Syifa yang diangguki kakaknya.
"Eh?" Aku menggaruk kepala bingung. Capek-capek gini, malah diajakin buka kado.
"Iya, Bu. Ayo!" Imran ikut buka suara.
Aku menatap anak-anak yang duduk di kanan dan kiriku. Wajah polos mereka yang memelas membuatku tidak kuasa menolak. "Okey, kita buka kadonya. Tapi Abang sama Adek belum shalat, kan?"
Syifa dan Imran serempak mengangguk.
"Kalau gitu kalian shalat dulu. Setelah itu, baru kita buka kadonya."
"Beneran, ya, Bu?" Imran menatapku antusias.
Aku mengusap rambut lebat Imran dan kepala Syifa yang berbalut kerudung putih. "Iya dong. Makanya, buruan shalat dulu."
Dua anak bawaan Pak Bima itu langsung berlari keluar kamar dengan semangat.
💞
"Ibu, ini kadonya buat Syifa, ya?" bisik Syifa mengalihkan perhatian dari salah satu kado pemberian teman semasa kuliah dulu yang akan kubuka. Kedua tangan mungilnya memeluk sebuah kotak berukuran sedang terbungkus kertas kado warna merah menyala. Setelah shalat yang kuawasi, dua bocah itu dengan tidak sabaran memilih kado dengan bentuk serta bungkusnya yang menarik bagi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Nikah [Menikah Dengan Duda] Proses TERBIT
Ficción General(18+) 'Beli satu, dapat dua.' Begitulah istilah dalam dunia periklanan. Istilah yang sama, tapi beda hal denganku. Aku tiba-tiba menikah dengan seorang bapak, langsung dapat dua anak. Yes, maksudnya aku nikah sama duren mateng dua anak. Duda, keren...