Mata itu berkedip dalam remang lampu tidur, tubuhnya yang meringkuk beringsut untuk mendekati sang ibu dan bersembunyi dalam dekapannya. Ia menengadah, memperhatikan ibunya yang tampak lelap tertidur, apakah dia tidak mendengarnya juga?
Ada sebuah suara yang mengusik keheningan malam, terdengar seperti tangisan memilukan, menyayat hati siapa pun yang mendengar, termasuk perasaan anak kecil itu. Ia menarik-narik piyama ibunya dengan cemas.
"Mah," suara kecilnya berhasil menarik kesadaran sang ibu. "Ada cuala,"
"Koala?" tanyanya memastikan, tapi ketika kesadarannya sudah penuh, ia segera mengerti apa yang dimaksud anaknya: sebuah tangisan. Dengan cepat ia bangkit mendudukkan diri di kasur lantas menepuk tubuh suaminya yang masih memejamkan mata. "Sak, Sak! Bangun, ih,"
"Papa," anak kecil itu membantu membangunkan dengan menggoyangkan lengannya. "Paa!"
"Hah? Apa, sayang?" Sakti berbalik, mengusap pipi anaknya sebentar, kemudian menatap istrinya dengan alis berkerut. "Anak siapa nangis, Shan?"
Shania menggeleng tanda juga tidak tahu, ia menyibak selimut dan beranjak keluar kamar, diikuti Sakti yang menggendong anak mereka. Shania menyalakan lampu ruang tengah kemudian berjalan mendekati sumber suara, di pintu depan.
"Kenapa?" tanya Sakti saat Shania diam memegang kenop.
Shania menatap suaminya cemas, "Ini suara bayi."
Benar saja, ketika pintu dibuka, mereka melihat sosok mungil itu tergeletak di bawah, terbungkus kain tipis dengan asal. Shania menutup mulutnya dengan tangan karena terkejut, ia segera meraih bayi itu dan menggendongnya.
"Sak, wajahnya biru banget!" panik Shania. "Ayo ke rumah sakit aja!"
"Ariel, kamu turun dulu, Nak. Papa ambil kunci." Sakti menurunkan anak perempuannya itu dan berlari mencari kunci. Ariel hanya menerjap tidak mengerti, ia lalu memilih mengikuti Shania yang berjalan ke garasi lewat depan.
Beberapa lama kemudian, mereka sudah ada di rumah sakit. Shania segera membawa bayi itu ke unit gawat darurat, sementara Sakti setelah memarkirkan mobilnya, memilih menunggu di luar bersama Ariel.
"Tadi ciapa, Pa?" tanya Ariel.
"Nggak tahu," Sakti menggeleng, tangannya terus mengusap rambut panjang Ariel yang sudah berkali-kali ia dapati menguap. "Kamu tidur aja, gih. Udah mau pagi ini."
"Jam belapa emang?"
"Jam tiga."
Ariel menguap lagi, ia segera bersandar dalam dekapan Sakti, mencari posisi senyaman mungkin untuk beristirahat. "Elil bobo lagi, ya, Pa,"
Sakti bergumam mengiyakan, tak butuh waktu lama untuk menanti Ariel tidur. Sakti lalu bersandar di dinding, menanti kabar dari Shania yang belum juga keluar. Namun, beberapa menit setelahnya, Sakti melihat Shania datang. Ia buru-buru memperbaiki posisi duduk dan sedikit bergeser guna memberi tempat untuk Shania.
"Gimana, Shan?" tanya Sakti cemas saat sadar Shania ikut-ikutan pucat.
"Puji Tuhan dia selamat," Shania membuang napas sebentar. "Tadi kata dokter, dia kedinginan juga butuh minum gitu, dan yang lebih parah lagi, umurnya masih satu hari, Sak."
Sakti menggeleng tak habis pikir, bagaimana bisa ada orangtua tak bertanggung jawab seperti ini? Shania lalu mengusap rambut Ariel dan mengecup pipinya, mengusik tidur pulasnya sesaat.
"Apa yang bakal kita lakuin?" tanya Sakti.
Shania menggeleng. "Aku nggak tega kalau harus telantarin dia lagi."
Sakti meraih tangan Shania dan menggenggamnya, lantas tersenyum dan mengangguk mengerti. "Semua manusia berhak untuk hidup. Lagian, kadang aku kasihan sama Ariel waktu lihat dia main sendiri. Kalau sampai kesambet gimana coba?"
"Ah," Shania mendesah kecewa. Dia pikir Sakti sudah berubah lebih serius dari sebelumnya, ternyata tetap saja.
"Bercanda, Shania," Sakti tertawa dan kembali meraih tangan istrinya yang sempat dihempas. "Kita rawat dia, gimana? Nanti aku yang urus semuanya, akta kelahiran, kartu keluarga, semua, deh."
Shania yang merengut mulai tersenyum, ia menatap Sakti sebentar dan memeluknya. Shania segera menarik diri saat sadar anak mereka terhimpit.
"Maaf, sayang." Shania mengusap kepala anaknya itu. Ia menatap Sakti lagi. "Jadi namanya siapa? Kamu ada ide?"
Sakti mengerutkan dahi, berusaha berpikir mencari nama. Kemudian, ketika pandangannya bertemu dengan langit gelap, sebuah nama terbesit dalam kepalanya. "Eve."
"Hah? If apaan, nggak usah sok kalau bahasa Inggris-nya meja aja nggak tahu."
"Shan," Sakti memelas. "Bukan if yang itu, tapi Eve, evening, malam. Kita kan ketemu dia pas malam, jadi namanya Eve aja."
"Tapi sekarang udah pagi, Sak."
"Ya, pokoknya Eve. Nggak mau tahu."
Shania tersenyum. "Nama lengkapnya?"
"Hm," Sakti berpikir lagi. "Oh, Eve Antoinette!"
"Sak, serius, deh." Shania menatap malas suaminya itu. "Antoinette itu apa?"
"Biar keren aja. Nih, anakmu yang satu ini," Sakti mengusap rambut Ariel, "Aku yang kasih nama, di Paud langsung banyak penggemar dia."
Shania sudah membuka mulut untuk berargumen lagi, tapi terinterupsi oleh seorang perawat yang menghampiri mereka.
"Dengan Ibu Shania?" tanya perawat itu memastikan, Shania menjawab dengan anggukan. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama pasien?"
"Eve!" sahut Sakti. "Eve Antoinette, suster."
"Sak, apaan, sih?" Sakti mengendik dan menahan senyum. Shania membuang napas lalu kembali menatap si perawat. "Iya, Eve Antoinette."
"Baik." perawat itu menulis sesuatu kemudian memberikannya kepada Shania. "Untuk info lebih lanjut, bisa kunjungi bagian resepsionis. Terima kasih."
"Yes." gumam Sakti, memancing perhatian Shania.
"Apa lagi?"
"Eve Antoinette."
"Terserah lah, Sak." Shania beranjak, meninggalkan Sakti yang senyum-senyum sendiri. Tapi, setelah beberapa langkah, Shania ikut tersenyum.
Bersambung
Nb. LANJUTIN GAK?