"Cieruu," panggil Eve genit. Ia mempercepat langkah begitu matanya bertemu dengan milik Ciel. Gadis berpipi gembul itu tersenyum tipis melihat Eve menghampirinya di dekat gerbang. "Dulu ibu kamu suka pantun, ya? Kok, kamu makin cakep aja?"
Ciel melirik ke arah lain, salah tingkah. Di detik berikutnya, ia mengembalikan atensi pada Eve dan sedikit merona saat ia sadar Eve juga makin cantik. Ciel membuang pandangan lagi sambil memejamkam mata, merutuki pemikiran spotannya yang memicu kecepatan detak jantung.
Eve mengernyit melihat rona kemerahan di pipi Ciel, lalu mendekat untuk menyibak rambut yang menutupi pandangannya. "Kok wajah kamu merah? Sakit, ya?"
Ciel melirik dan seketika berjengit kaget. Ia segera menjauh beberapa langkah dan memunggungi Eve. "Ja-jangan deket-deket! Jakarta lagi panas, aku gerah."
Eve menaikkan sebelah alis bingung kemudian menengadah ke langit. Hari ini Jakarta sedang mendung, udaranya juga jadi lumayan dingin. Ciel tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Eve mengendik tak acuh, ia duduk di bahu jalan depan sekolah setelahnya. Melihat itu, Ciel menyusul dan duduk di sebelah Eve. Mereka sama-sama menunggu jemputan. Tadi pagi Ariel memaksa ingin menjemput Eve, tapi sampai sekarang gadis itu belum muncul.
"Ciel, kamu pernah bingung milih sesuatu nggak?" tanya Eve, ia tiba-tiba teringat Cindy dan Shania, dan sekarang jadi kepikiran.
Ciel bergumam sebentar, berusaha mengingat. "Semua orang pasti pernah bingung kalau dihadapkan sebuah pilihan. Emang kenapa Kak Eve tanya begitu?"
"Aku bingung milih salah satu antara dua orang yang sama-sama penting buat aku." Eve berubah sedikit murung, memikirkan keputusan besar seperti itu benar-benar membuat Eve pusing. Akhir-akhir ini, Eve juga jadi mudah lelah karenanya.
"Sepenting itu mereka buat Kak Eve?" tanya Ciel, ia jadi ikut-ikutan bingung saat Eve menjawab dengan anggukan. "Bentar, siapa yang kita omongin di sini?"
"Oh, iya. Kamu belum tahu." Eve meringis kikuk. Ia baru ingat kalau yang tahu masalah keluarganya hanya teman-teman sekalas saja. Mereka tampaknya tidak menyebarkan berita itu, bisa Eve ketahui dari tidak adanya orang di luar kelasnya yang meledeknya, juga ketidaktahuan Ciel barusan. "Yah, pokoknya ada, lah. Mereka sama-sama penting."
"Hm, gimana kalau Kak Eve coba keluar zona nyaman?" usul Ciel. Eve menoleh tertarik padanya. "Tinggalin kebiasaan lama kakak buat cari pengalaman baru, sudut pandang baru, dan suasana yang baru. Siapa tahu Kak Eve juga dapat pengetahuan baru juga, kan? Menurut aku, terus ada di zona nyaman itu nggak aman. Kita nggak bakal bisa berkembang kalau terus-terusan kaya gitu."
"Cari suasana baru?" ulang Eve. Ciel mengangguk membenarkan. Mungkin benar, ada baiknya Eve memberi Cindy kesempatan. Ia sudah menghabiskan enam belas tahun bersama Shania, dia juga harus memikirkan perasaan Cindy. Kecewa sudah pasti akan Cindy rasakan jika usahanya selama ini akan berakhir sia-sia.
Dan sepertinya, Eve mulai mengerti siapa yang harus ia pilih.
•••
"Mamaa, Ci Ariel jahat! Dia bilang mau jemput tapi telat setengah jam." Eve masuk dengan dramatis, tapi seketika ia mematung saat melihat Cindy dan Yori menoleh padanya di dekat bangsal Shania. Eve merasa wajahnya seketika panas.
"Dih, alay be--" Ariel juga ikut mematung di belakang Eve saat melihat ada tamu. Tapi Ariel bisa langsung menguasai diri. Ia tersenyum ramah. "Eh, ada Tante Cindy. Udah lama, Tante?"
Cindy balas tersenyum ramah. "Enggak, baru aja, kok. Sekitar lima menitan."
"Kak Evee! Aku kangen." Yori berlari memeluk Eve, kemudian menoleh pada Ariel yang memperhatikan mereka. "Kakak pasti Kak Ci Ariel, kan?"