"Kebun binatang saat hujan, memang sengaja aku pilih." senandung Eve sambil terus menulis ringkasan materi untuk mempermudah belajarnya. Gadis itu tersenyum senang dan mengangkat tinggi-tinggi hasil ringkasannya. "Akhirnya! Eve Antoinette berhasil menyelesaikan ringkasan enam bab dalam waktu--" Eve menengok ke jam dinding dan seketika menjadi kehilangan semangat. "--empat jam."
Eve membuang napas dan tidak patah semangat. Yang penting dari kerjaannya meringkas barusan, ia sudah belajar juga. Artinya sekarang ia bisa langsung tidur. Eve merapikan meja belajarnya dan berbalik, langkah semangatnya menuju kasur seketika memudar ketika ia melihat kamar ini jadi terasa kosong. Barang-barang Eve sudah terkemas rapi dalam kardus yang ditumpuk di dekat pintu.
Eve tersenyum miris mengingat besok adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas, yang artinya ia juga akan bertolak ke rumah Cindy setelahnya. Beberapa minggu terakhir Eve memang sudah sering berkunjung ke rumah itu, tapi ia tidak pernah segugup ini karena ia tahun dirinya akan kembali ke tempat ini. Tapi, mulai besok dan seterusnya, semua akan berbeda.
Ariel baru saja kembali dari kamar mandi di lantai bawah ketika melewati kamar Eve dan mendapati lampunya masih menyala. Sekarang sudah lewat jam sepuluh, apa yang membuat anak itu belum tidur? Ariel mengetuk beberapa kali dan mendorong pintu itu untuk membukanya. Kening Ariel berkerut melihat Eve duduk di tepi kasur membelakanginya.
"Eve, lo kerasukan?"
Eve menoleh malas. "Bisa-bisanya lo mikir begitu? Lagi sedih ini, jangan ngerusak suasana."
Ariel terkekeh dan memutuskan untuk menghampiri Eve setelah menutup pintunya. Ia berbaring di kasur dan Eve mengikutinya.
"Kenapa, ya, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan?" tanya Eve.
Ariel melirik sekilas. "Adanya keenakan kalo nggak ada perpisahan."
"Serius, Cii."
"Lah, gue serius. Kalo nggak ada perpisahan, nggak bakal ada juga rasa sakit. Kalau nggak ada rasa sakit, artinya lo lemah karena nggak pernah tahu apa itu luka."
Eve menatap takjub. "Gue suka lo bijak. Terusin."
"Jangan lihat perpisahan dari sisi negatif aja, lo juga harus cari sudut pandang lain, temuin hal positif di balik perpisahan. Pernah denger dari setiap luka kita bakal jadi lebih dewasa? Itu bukan cuma bualan karena di setiap kita merasa gagal, kita bakal jadi lebih peka dan was-was biar hal yang sama nggak terjadi dua kali. Lo emang nggak bisa hindari perpisahan, tapi seenggaknya setelah perpisahan pertama lo, lo lebih bisa menguasai diri."
"Berarti gue nggak boleh sedih?"
"Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita masih bisa ketemuan?"
"Tapi rasanya beda." Eve menatap langit-langit kamar dan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal. "Abis ini, tiap gue pulang sekolah gue nggak bakal lihat lo. Gue juga nggak bakal nyapa kak Amel lagi, jahilih Muthe, kagetin Buna Eli, bikin Nunu nangis, bahkan bisa jadi gue nggak ketemu Mang Cides lagi."
Sekilas info, Nunu itu adiknya Muthe dan Mang Cides adalah tukang sayur keliling yang sudah menjadi langganan Shania entah sejak kapan.
"Tapi kan lo dapat pengalaman baru." balas Ariel. "Tiap bangun tidur lo lihat Yori, sarapan bareng tante Cindy, ketemu Lala, ketemu ... Sisca."
"Oiya, Ci." Eve langsung menatap Ariel setelah gadis itu menyebut nama Sisca. "Jadi, kalo dari rumah Mami Cindy ke sekolah kan gue naik kereta, terus waktu itu gue ketemu Kak Sisca, weh! Kita sering banget barengan gitu. Apa gue pacaran sama Kak Sisca aja?"