8. Regret

1.6K 157 27
                                    

Eve membuang napas sambil melangkah gontai menuruni tangga beberapa menit setelah ia melamun pasca ditinggal Ariel di depan kamar. Sakti sedang bekerja dan Shania sibuk di dapur, rumah jadi sepi, padahal biasanya kalau libur begini selalu ramai oleh suara ribut Ariel dan Eve.

Eve merengut samar dan kembali melangkah menuju dapur, ia mendapati Shania sedang memasukkan beberapa loyang kue ke mesin pemanggang. Meja makan, pantry, dapur, semua dipenuhi alat-alat membuat kue beserta bahan-bahannya. Gadis itu duduk di kursi pantry, mengamati Shania sampai wanita itu beralih dari panggangan dan terkejut melihat Eve di sana.

"Ck, bikin kaget aja!" dengus Shania, matanya melotot galak.

Eve tersenyum tipis. "Kuenya buat apa, Ma?"

Shania duduk di kursi meja makan, mengambil adonan lalu mencetaknya dengan alat, membuat Eve memutar tubuh untuk melihat Shania.

"Hm, jadi kamu belum tahu kalau acara tahun ini di rumah kita?"

Eve bergumam mengerti. Maksud Shania adalah acara malam tahun baru bersama tetangga, yang Eve ketahui sudah ada sejak sebelum ia hadir di rumah ini. Acara ini bertujuan untuk mempererat hubungan antartetangga.

"Aduh, lupa." Shania menepuk kepala, ia beranjak kembali ke dapur dan mengambil uang di dekat mixer dan menyerahkannya pada Eve. "Mama minta tolong, beliin bahan-bahan yang kurang, ya? Bentar, Mama catatin."

Eve tidak bisa menolak, jadi ia mengangguk patuh. Sementara Shania menulis daftar belanja, Eve pergi ke kamar untuk ganti baju. Mana mungkin ia pergi dengan mengenakan celana pendek gambar tokoh kartun Pororo?

"Nih," Shania memberikan secarik kertas pada Eve ketika gadis itu menghampirinya lagi. "Di toko yang dekat pasar itu, tahu, kan? Nih, pakai motor Ariel aja, tapi inget," Shania memperlihatkan telunjuknya. "Hati-hati karena jalan lagi rame."

"Siap, Mam." Eve memberi hormat lalu mengambil kunci motor yang diberikan Shania.

"Jangan ngebut!" teriak Shania beberapa detik setelah Eve masuk garasi untuk mengeluarkan motor.

Eve membalas tak kalah keras. "Iyaaaaaa!"

•••


"Ih, kangen bangeet!" Erika berlari menghampiri Amel dan Ariel sesaat setelah mereka keluar dari mobil dan memeluk keduanya bersamaan. Erika menarik diri dan menatap teman-temannya itu bergantian, mengernyit. "Kok diem? Nggak kangen aku, ya?"

Amel memalingkan muka. "Enggak."

"Dih," sahut Ariel tidak terima. "Tadi lo bilang seneng banget karena akhirnya bisa ketemu Erika, waktu di rumah tadi lo juga bilang kangen sama Erika, terus--"

"Riel," Amel memicing lalu menggeleng. "Jangan merenggangkan jarak di antara kita."

Erika tertawa melihatnya, ia merasa terhibur setelah sekian lama terjebak dengan segala macam bentuk pembelajaran di Jepang yang bisa terbilang sangat melelahkan. Tangannya terulur untuk mengacak gemas rambut Amel sampai berantakan.

"Tetep aja, nih, manusia kumel." katanya masih sambil tertawa. Erika lalu menatap Ariel. "Lo mau gue acak-acak rambutnya juga, nggak?"

Ariel melebarkan mata galak. "Lo sentuh rambut gue, besok pagi tangan lo putus."

"Galak bener." Erika terkekeh.

"Jangan bilang kita ketemuan cuma buat lihat kamu ngetawain aku sama Ariel," Amel melipat tangan di depan dada, meminta kepastian acara.

"Tenang, aku udah buat to do list, tapi sebelumnya--" Erika meraih tas punggungnya lalu mengeluarkan dua kantong kresek berwarna putih. "Teret! Oleh-oleh dari Jepang! Satu buat Eril satunya lagi buat Mamah."

EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang