13. Choice

1.3K 155 14
                                    

"Ck, besok udah ada kelas." gumam Ariel saat memeriksa jadwal kegiatan di kalendernya. Ariel memang orang yang sangat teratur, hal itu memudahkannya mengatur waktu.

Langkah gadis itu kemudian berhenti di depan kamarnya, lantas berbalik memandang pintu kamar seberang yang masih tertutup. Itu kamar Eve, dan omong-omong, dia belum keluar sejak selesai acara tadi malam--ah, ralat: pagi. Sekarang sudah jam sepuluh, Ariel jadi penasaran kenapa Eve tak kunjung menampakkan eksistensi.

Ariel mengetuk pintu itu beberapa kali. "Lay," panggilnya. "Alay, belum bangun, ya, lo?"

Karena tidak mendapat jawaban, Ariel memutar kenop yang tidak terkunci itu kemudian menemukan Eve masih berbaring di kasur. Kedua alis Ariel bertaut ketika Eve menoleh padanya, Ariel lantas menatap datar menyadari kantung mata adiknya yang menghitam.

"Jangan bilang lo nggak tidur." katanya.

Eve terkekeh pelan. "Tahu aja lo."

"Sarapan dulu sana, abis itu tidur." setelah berkata demikian, Ariel melangkah keluar sambil menutup pintu kembali. Tapi, gerakannya terhambat ketika ia teringat sesuatu. Ariel kembali membuka pintu untuk masuk dan menghampiri Eve. "Lo ngobrol apa aja sama tante kemarin? Dia minta lo ikut dia?"

Eve membuang napas lelah. "Enggak, sih. Tapi kayanya juga iya. Nggak mungkin kan dia ke sini cuma buat kasih tahu kita kalau dia orangtua kandung gue?"

"Iya, sih." gumam Ariel pelan. Ia menatap Eve lagi. "Terus, gimana?"

"Dia cerita kenapa gue bisa ada di depan rumah ini. Selama ini ternyata dia juga cariin gue, tapi baru ketemu." kata Eve. "Lo inget Yori, kan? Yang di rumah sakit waktu gue nabrak mobil orang itu. Gara-gara dia, tante kemarin bisa mendeteksi gue lewat sempel darah dari rumah sakit."

Ariel mengernyit lagi. "Yori itu siapanya tante kemarin?"

"Anaknya."

Kerutan bingung di kening Ariel berubah tengil ketika ia menyadari sesuatu. "Jadi lo punya adik? Cih, sanggup lo? Ngurus diri sendiri aja belum bisa. Belajar dewasa sono!"

"Iye, ntar. Otewe tujuh belas." Eve melirik ke arah lain dengan malas.

"Sekarang lo otewe tujuh belas!"

Ariel dan Eve seketika menoleh ke arah pintu ketika mendengar suara benda jatuh. Mata Ariel melebar saat suara benda jatuh lainnya menyusul, ia menatap Eve cepat. "Mama." gumamnya.

Mereka kemudian segera keluar kamar dan menghampiri Shania di dapur. Ariel sudah ada di sana terlebih dahulu ketika Eve sampai, sedang menyingkirkan pecahan mangkuk di sekitar Shania yang pingsan. Eve tercekat sebentar dan ikut membantu Ariel.

"Ma!" panggil Eve. Ia memekik saat melihat cairan merah di lantai bawah kepala Shania. "Cici, Mama berdarah!"

•••

"Bu Shania mengalami dehidrasi dan stres ringan," kata dokter pada Sakti di depan ruang rawat inap Shania. Dokter itu bilang kening Shania juga terluka karena pecahan mangkuk. Kemudian, ia tersenyum kecil sebelum berlalu. Katanya, "Saya harap, masalah apapun yang sedang kalian alami dapat segera terselesaikan."

Sakti mengucapkan terima kasih, kemudian melangkah masuk saat dokter itu sudah jauh. Ariel dan Eve terlihat menunggu Shania, mereka tampak khawatir. Tidak tahu dapat keyakinan dari mana, tapi Eve merasa Shania pasti memikirkan kedatangan Cindy kemarin sampai jadi seperti ini. Ia jadi tambah merasa bersalah.

"Gimana, Pa?" tanya Ariel ketika Sakti sampai di sebelahnya.

"Mama kalian kecapekan." Sakti tersenyum kecil. "Paling gara-gara acara semalam."

EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang