Dua hari sudah berlalu, dan selama itu Eve sama sekali tidak membuat kemajuan. Tatapan Ariel yang menusuk di setiap mereka bertemu pandang selalu sukses membuat nyali Eve menciut, keberaniannya seketika menguap dan hilang dihembus angin.
Eve sedang menjemur pakaian--ia dipaksa Shania--sambil melamun ketika Shania berteriak dari halaman belakang memanggil nama Ariel berkali-kali dengan tidak santai. Shania terpaksa mencuci manual baju keluarganya karena kabel mesin cuci mereka putus dikunyah tikus, beruntung Eve mau membantu.
Beberapa menit kemudian Ariel terlihat menghampiri Shania.
"Kamu itu kalo libur jangan di kamar terus! Ini, bantu Mama jemur sana, deket Eve tuh." omel Shania.
Ariel menoleh, memperhatikan Eve yang tanpa semangat memeras baju dan menggantungnya, terus begitu sampai beberapa baju. Ariel membuang napas samar, lalu kembali menatap Shania.
"Nggak ada yang lain, Ma?"
"Oh, kamu mau cuci baju sekaligus jemur?"
Ariel merengut. Ia membawa ember berisi pakaian siap jemur yang sudah disisihkan Shania dan membawanya ke dekat Eve untuk digantung. Ariel memalingkan muka saat Eve tak sengaja meliriknya, menyadari hal tersebut Eve membuang napas.
Hari masih pagi, belum ada jam sembilan, tapi cuaca sangat cerah tanpa awan dan begitu panas. Belum ada lima menit berdiri di sini saja Ariel sudah dehidrasi, apalagi Eve yang sudah sedari tadi. Perlahan Ariel mencuri pandang, menatap wajah kusut Eve yang sama sekali tidak bersemangat, lalu merenung. Apakah pengaruhnya sebesar itu? Suasana jadi canggung dibuatnya.
"Kenapa?" tanya Shania setelah Eve selesai menjemur baju dan kebetulan berpapasan dengannya di ambang pintu antara dapur dan halaman belakang.
Eve menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Ma. Eve udah selesai, Eve ke kamar dulu, ya."
Shania tidak menjawab apapun, ia hanya mengekori Eve dengan matanya sampai anak itu hilang di balik tembok tangga menuju lantai atas. Shania mengernyitkan dahi, berpikir, sudah selama ini tapi masalah Eve dengan Ariel belum selesai? Wanita itu lalu menghampiri Ariel yang masih menjemur pakaian jatahnya dan membantu.
"Masih marahan, ya?" tanya Shania, tapi Ariel sama sekali tidak bersuara. "Mama khawatir sama kalian."
"Mama mau salahin aku juga?" balas Ariel kecewa. "Kenapa Mama selalu nempatin aku di atas kesalahan Eve sendiri?"
"Mama enggak salahin kamu, Ariel." Shania membuang napas lalu menatap Ariel tepat di mata, kali ini lebih serius. "Semua ini karena Mama percaya sama kamu, bukan karena Mama lebih sayang Eve atau apa. Mama percaya kamu bisa jadi contoh yang baik buat Eve.
"Apa kamu nggak kasihan sama Eve? Senyum nggak pernah, makan jarang, sedih terus, tampangnya banyak pikiran. Emang kamu nggak khawatir? Mama minta kalian cepet baikan."
Ariel menggeleng. "Dia bahkan sama sekali nggak berusaha ngobrol sama Ariel."
"Gimana Eve bisa ngomong sama kamu kalau kamu terus-terusan menolak buat ketemu dia?" Shania tersenyum tipis, ia mengusap asal tangannya yang basah ke baju lalu mengusap pipi Ariel. "Kamu udah dewasa Ariel, yang harus kamu lakukan cuma dengar penjelasan Eve, setelah itu kamu boleh menentukan siapa yang salah."
•••