Malam itu, sekitar pukul satu dini hari, tangisan bayi itu pecah untuk kali pertama. Rasa sakit yang sempat dirasakannya seolah memudar mendengar tangisan itu, Cindy tersenyum lega, tangannya masih saling menggenggam dengan Jino bahkan semakin erat. Jino mendekat, merapikan rambut Cindy yang basah dan berantakan di sekitar wajahnya.
"Maaf," lirih pemuda itu, menatap Cindy bersalah. "dan terima kasih. Aku sayang kamu."
Cindy hanya diam menerima kecupan hangat di keningnya. Ia membuka mata saat Jino menarik diri, lalu menggeleng tanda semua akan baik-baik saja.
Semua ini tidak terencana, mereka tidak sengaja melakukan itu, jadi Jino merasa sangat bersalah. Ia telah merebut masa depan Cindy, yang mungkin jika dirinya tidak mengandung, akan dapat mengambil beasiswa ke luar negerinya.
"Perempuan." ujar dokter itu sambil tersenyum, menarik perhatian Cindy dan Jino.
Ada rasa luar biasa senang ketika Cindy mendekapnya. Ia tersenyum haru, apalagi saat telunjuknya tak sengaja digenggam bayinya. Cindy menengadah menatap Jino lagi. "Siapa, ya, namanya?"
"Oh, iya. Belum kita siapin." Jino terkekeh kecil.
Cindy menggeleng tak habis pikir, tapi tetap dengan senyum tipisnya. Sekali lagi Cindy menyentuh pipi anaknya sebelum ia dibawa seorang perawat ke ruang bayi untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Setelah Cindy diurusi oleh dokter, ia dipindahkan ke ruang rawat inap.
"Cindy," Cindy dan Jino seketika menoleh ke sumber suara. Di sana, di dekat pintu, mereka menemukam Veranda, orangtua Cindy, tersenyum lega sambil menghampirinya. Mereka berpelukan sebentar. "Maaf, Mama nggak bisa temani kamu, tadi ada pasien kritis. Maaf, ya? Maafin Mama."
"Nggak apa, Ma," balas Cindy tulus. Ia tahu kesibukan ibunya sebagai dokter yang tidak bisa mengesampingkan kewajiban seenaknya. "Kan ada Jino."
Veranda menoleh pada pemuda itu dan tersenyum. "Makasih, ya. Tante tahu kamu aslinya baik." Jino tersenyum kecil mendengar itu. "Oh, iya, orangtuamu mana?"
"Masih di jalan, kena macet."
"Papi?" kali ini Cindy yang buka suara, menanyakan eksistensi ayahnya.
Veranda menggeleng pelan, Cindy balas tersenyum kecil walau hatinya sedikit kecewa. Dari semua orang di sekitar Cindy, hanya Kinan, ayahnya, yang sangat sulit menerima keadaan. Ia bahkan tidak mau bicara dengan Cind atau Jino selama sembilan bulan terakhir.
Ruangan itu seketika hening, tapi mendadak seorang dokter membuka pintu dengan tidak santai. Napasnya memburu dan wajahnya panik.
"Dokter Veranda," katanya sambil menatap Veranda dengan pandangan yang sulit diartikan. "Bayi anak Anda diculik."
Rasanya ada sesuatu yang keras menghantam dada Cindy. Jino segera berdiri dan mengajak dokter itu keluar, menanyakan ke mana arah penculiknya dan berlari mengejar. Veranda segera memeluk Cindy sambil terus bergumam bahwa masalah ini pasti akan diatasi.
Sementara itu, pria berpakaian serba hitam berlari kencang di sepanjang lorong, melewati banyak orang yang berlalulalang di sana dengan bayi dalam dekapannya. Jino yang melihatnya dari pertigaan koridor segera ikut mengejar bersama pihak keamanan rumah sakit. Namun sayang, pria itu larinya cepat sekali. Ia berhasil masuk ke dalam mobil dan melaju kabur sebelum Jino ataupun pihak keamanan rumah sakit berhasil menangkapnya.
Pria itu membuka penutup wajahnya kemudian melemparkannya ke jok belakang tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. Ia membuang napas kesal dan memukul kemudi beberapa kali.
"Pak Kinan sialan!" geramnya. Wajahnya berubah sendu saat tangisan bayi yang terbaring asal di jok samping kemudi itu terdengar makin keras. Ia kembali memukul kemudi bagai orang depresi saat teringat anaknya sendiri.