9. Priority

1.6K 155 14
                                    

Ariel mendekap Eve lagi dan membiarkan adiknya itu menenangkan diri di bahunya. Setelah merasa cukup, Eve menarik tubuhnya dan menatap Ariel sedih.

"Maaf. Pasti lo sama Mama khawatir banget." gumam Eve merasa bersalah.

"Tentu aja." Ariel membenarkan, tapi perlahan ia menarik senyum tipis. "Gue sayang sama lo, jadi wajar kalo gue khawatir sama lo. Mama pasti juga gitu."

Eve tersenyum mendengar pernyataan Ariel, ada kehangatan yang mengalir dalam tubuhnya ketika ia mendapat perhatian seperti ini. Rasanya menyenangkan, Eve sangat bersyukur bisa memiliki kakak seperti Ariel, sekalipun mereka bukan saudara kandung.

"Oh iya, gimana bisa lo jatuh? Ngebut, ya?" tanya Ariel penasaran.

Eve menerjap beberapa kali lalu mengendik. "Kayanya, sih, gue nabrak depan mobil gitu, terus tiba-tiba stirnya belok dan brak! Udah, nggak inget apa-apa lagi."

"Tapi kepala lo nggak apa-apa, kan?" Ariel mengernyit cemas, lantas mengusap rambut hitam Eve untuk memastikan kepala adiknya baik-baik saja.

"I-iya, nggak apa-apa, kok." Eve menahan tangan Ariel dan memundurkan kepalanya ketika dirasa jarak mereka terlalu dekat. Eve lalu membuang napas. "Yah, untungnya, orang yang mobilnya gue tabrak itu baik. Dia nganterin gue ke rumah sakit."

"Oh?" Ariel terkejut, ia pikir adiknya itu dibawa ambulan macam yang sering terjadi di film. "Terus, mana sekarang yang nganterin lo?"

"Nggak tahu. Tadi mereka pamit keluar bentar gitu abis telpon Mama."

"Mereka?" kerutan di kening Ariel semakin dalam.

Eve mengangguk. "Dua orang, cewek semua. Kayanya kakak-adik gitu, deh. Nggak paham."

Ariel mengangguk pelan tanda paham. Setelah itu, tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Ariel memutuskan untuk menemani Eve di sini sambil menunggu orang yang dimaksud adiknya itu, siapa tahu mereka kembali. Sembari menanti, Ariel memberi kabar pada Shania bahwa Eve baik-baik saja, karena tak kunjung dibaca, akhirnya ia mengabari Amel dan Erika dengan berita serupa.

Tiba-tiba saja Ariel mendapati Shania berdiri tak jauh dari mereka setelah menyimpan ponsel di tas. Shania menggigit bibir bawahnya dan cepat-cepat menghampiri Eve untuk segera dipeluk.

"Maaf, maafin Mama. Seharusnya Mama beli sendiri bahan-bahan buat kue, jadi kamu nggak bakal kaya gini Eve." Shania menarik diri dan memperhatikan keadaan Eve. "Mana yang sakit, Eve?"

"Cuma tangan kiri kok, Ma. Selebihnya Eve baik-baik aja."

Pandangan Shania turun ke pergelangan tangan Eve yang dibalut perban dengan erat, memastikan untuk tidak terjadi banyak pergerakan di sana. Shania menengadah dan menatap Eve sedih.

"Maafin Mama."

Eve tersenyum tipis, menghapus air mata Shania dengan tangan kanannya. "Bukan salah Mama." bisik Eve.

Shania memaksa dirinya untuk tersenyum kemudian mengangguk. Wanita itu melirik sekilas pada Ariel yang sedang memperhatikan mereka lalu tersenyum aneh.

Ariel menatap malas melihat senyuman itu. "Apa?" tanyanya ketus.

Shania terkekeh kecil. Ia menatap Ariel dan Eve bergantian. "Kalian udah baikan, ya? Hm. Bagus. Lain kali, kalau ada masalah itu dibicarakan baik-baik, bukan malah saling diam. Inget, ini pelajaran buat kalian berdua."

"Iya, Ma." jawab Ariel dan Eve menurut.

"Eh?" suara itu menarik perhatian ketiganya, tak jauh dari mereka berdiri seorang gadis berambut sebahu dan anak kecil yang berdiri di sebelahnya.

EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang