6. Silent

1.4K 165 7
                                    

Malam Natal telah tiba, waktu yang tepat untuk bersukacita dengan sesama. Suasana gereja malam itu masih terlihat ramai setelah ibadat, tapi Eve hanya duduk di undakan depan pintu masuk ketika umat yang lain saling berbincang di halaman.

Shania dan Sakti juga entah ke mana, seingat Eve mereka tadi pamit ke stan makanan dan belum kembali hingga sekarang. Kemudian Ariel, Eve belum melihatnya seharian ini--atau lebih tepatnya, sejak mereka terakhir bertatap muka kemarin malam--kecuali saat kakaknya itu duduk di barisan pemain musik di dekat altar bersama paduan suara gereja.

Eve menengadah ketika ia merasakan hawa keberadaan seseorang, dan ketika menoleh, ia melihat Ciel duduk di sebelahnya dengan salad buah di sebuah piring kecil.

Eve tersenyum tipis, "Hai, manis."

Ucapan Eve yang tidak sesemangat biasanya membuat Ciel menoleh, ia sampai berhenti mengunyah karena penasaran. Ciel menelan potongan semangka dalam mulutnya kemudian bertanya, "Kak Eve kenapa? Tumben."

"Nggak apa-apa." jawab Eve lirih, suaranya semakin hilang, tapi kemudian ia membuang napas dan tersenyum lagi. "Kamu juga tumben banget mau ketemu aku, kenapa, nih?"

Ciel mengalihkan perhatian ke depan setelah pandangan mereka sempat bertemu. "Muka kamu kaya orang susah, jadi aku kasihan." Ciel menyodorkan piring berisi salad buahnya tanpa menatap Eve, "Mau?"

Eve menggeleng pelan. Ia meraih garpu di sana, menusuk salah satu buah dan mengarahkannya ke mulut Ciel. "Buat kamu aja, biar tambah manis."

"Kebiasaan." dengus Ciel, tapi ia menerima suapan itu. "Kakak ada masalah, kan? Cerita aja, siapa tahu lega."

Eve diam sebentar. Mungkin benar, yang ia butuhkan saat ini adalah teman curhat. Dulu ketika Eve ada masalah di sekolah, atau di mana pun ia pernah berada, Ariel selalu ada untuk mendengar semua penjelasannya dan memberikan solusi. Ariel juga memberi dekapan agar Eve merasa lebih baik.

Namun sekarang, Ariel sedang tidak ingin bertemu dengannya, harus pada siapa Eve bercerita? Sekarang ada Ciel di sini, lebih baik Eve mengatakan yang sebenarnya, juga tentang perjanjian yang terjadi di ruang musik.

Eve menatap Ciel yang juga tengah memperhatikannya. "Awalnya itu kejadian di ruang musik."

Eve lalu menceritakan semua: isi perjanjiannya dengan Andy; rencana Ariel ke pasar rakyat; pesan mendadak Andy yang menentukan hari bersamaan dengan waktu perginya Ariel; kebohongan Eve; dan akhir di mana Ariel benar-benar kecewa dengan apa yang dilakukan Eve.

Ciel menerjap beberapa kali, berusaha mencerna cerita Eve, kemudian matanya melebar terkejut. "Jadi semua gara-gara aku? Kak Eve, aku minta maaf, kalau aku nggak minta Kakak bantu rebut ruang musik dari Kak Andy, semua nggak bakal kaya gini,"

"Bukan, bukan salah kamu." Eve menggeleng, tidak membenarkan pernyataan Ciel. "Semua ini sepenuhnya salah aku. Aku nggak bisa tegas sama diri aku sendiri, jadi mau dilihat dari sudut pandang mana pun, tetap aku yang salah."

Ciel meletakkan piring saladnya di dekat mereka lalu memeluk Eve, membuatnya terkejut. "Orang bilang pelukan bisa menenangkan," kata Ciel. Setelah beberapa lama ia menarik diri, "Kalau gitu, Kak Eve harus segera minta maaf sama Ci Ariel. Jelasin semua ke dia kalau sebenarnya waktu itu kamu bingung dan nggak berniat buat bohong."

Eve mengangguk pelan. "Makasih, ya."

•••


Eve menunduk di jok belakang dalam perjalanan pulang, sesekali ia melirik Ariel yang menatap asal ke luar lewat jendela. Mereka belum pernah sediam ini, bahkan Shania dan Sakti jadi penasaran, tapi Shania bilang lebih baik ia dan Sakti tidak ikut campur dulu.

EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang