"Nan, gue nggak bisa, Nan." Eve memelas pada Nanda setelah ia mengamati soal matematika yang ditulis Bu Natalia di papan.
Nanda terlihat menggaruk pelipis dengan pensil di tangannya. Ia bergantian menatap papan tulis, hasil kerjanya, dan juga hasil kerja Chika yang duduk di belakangnya. Ia kemudian membalas tatapan Eve. "Jawaban gue beda sama punya Chika anjir, positif salah nih."
"Yah, gimana dong? Lo lihat punya gue," Eve menunjukkan lembarannya yang kosong pada Nanda, di sana hanya tertulis nama, kelas, nomor absen, dan tanggal saja. "Nol besar, bro."
Nanda menggigit kuku jari cemas lalu menghapus semua hasil hitungannya. Refleknya seketika bergerak cepat ketika ia mendengar bangku belakang terdorong mundur dan langkah kaki terdengar. Sebelum Chika melewatinya, Nanda segera menahan tangan gadis itu dan menariknya untuk menunduk.
"Astaghfirullah!" kaget Chika ketika lembaran di tangannya kini beralih pada Eve dan Nanda. Chika mengerutkan kening, rasanya ia telah mengucapkan sesuatu yang salah. Beberapa detik kemudian gadis itu mengendik tak acuh dan menerima kembali lembarannya setelah Nanda memotret jawabannya.
"Makasih, ye, manis."
Chika mengangguk asal dan melanjutkan perjalanannya untuk mengumpulkan kuis.
"Gue bakal seneng sih, kalau punya pacar pinter kaya Chika." halu Eve sambil menyalin jawaban gadis cantik itu.
Nanda mengangguk setuju. "Tapi bukannya lo sama adik kelas yang itu? Yang lucu. Siapa namanya? Ciel?"
Eve mengerucutkan bibirnya. "Gue ditolak."
Nanda seketika menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa geli yang meluap. Ia melirik Eve dan makin berusaha keras menahan tawa ketika melihat wajah kesal teman sebangkunya itu.
"Temennya sedih malah diketawain, kurang ajar emang." Eve mendengus keras dan berdiri usai menyalin jawaban Chika, ia beranjak meninggalkan Nanda yang masih bersikeras menahan tawa.
Tepat setelah semua tugas dikumpulkan, bel pulang menggema indah di setiap kelas melalui pengeras suara. Bu Natalia segera mengakhiri pembelajaran dan pergi setelah muridnya bersiap-siap.
Nanda masih merasakan geli akibat cerita Eve tadi. Ia merangkul gadis berambut hitam itu dan berjalan beriringan menuju gerbang. Nanda menyeka air matanya dan menatap Eve dengan sisa kekehan. "Join warung Bu Sumini nggak lo? Gue sama Fia mau ke sana," Nanda mendekatkan wajahnya pada telinga Eve dan berbisik, "Ketemu Zara."
Eve berdecak keras sambil mendorong wajah Nanda. "Nggak, ah. Gue mau rebahan abis ini, kapan-kapan aja."
Nanda menatap tengil. "Cie, masa lalu."
Eve menggeram galak dan memukul punggung Nanda berkali-kali. Dulu Eve dan Zara hampir berpacaran kalau saja gadis berambut pendek itu tidak tiba-tiba menghilang dari Jakarta.
Di tengah aksinya menganiaya Nanda, ponsel Eve bergetar. Ia berhenti memukul Nanda, membiarkan gadis itu menikmati panas di punggungnya, sementara Eve menerima panggilan. Kening Eve berkerut heran membaca nama Cindy di layar. Dengan ragu, Eve menerima panggilan dan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Iya?"
"Kamu belum pulang, Eve?" tanya Cindy dari telepon.