Eve meregangkan ototnya yang kaku sesaat setelah bel istirahat berdering nyaring. Matanya kembali tertambat ke depan, memperhatikan beberapa temannya masih mengerjakan kuis matematika dengan Bu Natalia yang mengawasi. Wanita setengah baya itu memeriksa pekerjaan mereka dan mengangguk samar, tanda jawaban mereka betul. Setelahnya, murid-murid ia perbolehkan keluar kelas.
"Kantin, bro?" tanya Nanda, salah satu teman sekelas Eve, dari arah pintu.
Eve menguap lebar di bangkunya. "Males, ah."
Nanda menunjukkan ibu jarinya dan berlari menyusul teman sekelasnya yang lain. Di kelas memang bukan hanya ada Eve, tapi mata Bu Natalia sudah terlanjur tertuju padanya.
"Eve, ayo sini, bantu saya bawa hasil ulangan kelas sebelah." katanya.
Eve menunjukkan ekspresi sedih, tapi menurut. Ia membawa map tebal yang saking banyak isinya sampai melembung itu dan mengikuti Bu Natalia menuju ruang guru.
"Ulangan kelas saya sudah dikoreksi belum, Bu?" tanyanya.
"Udah," ia duduk di kursinya dan menepuk sisi meja sebelah kanan, memberi kode pada Eve untuk memberikan mapnya di sana. Eve lalu melihat Bu Natalia membuka laci dan memberikan sepaket kertas ulangan padanya. "Kamu itu hobinya tidur di kelas, tapi kok nilainya bagus sendiri, hn?"
"Beneran, Bu?" Eve tersenyum senang dan mencari hasil ulangannya. "Wah, iya, haha! Mama saya emang pinter, Bu, ikut pinter juga saya ternyata."
Bu Natalia sedikit menurunkan kacamatanya, menatap Eve dengan kedua alis terangkat. Eve langsung berhenti tertawa ketika ia sadar ucapannya. Ibu yang mana? Dia kan anak angkat.
Staff sekolah memang tahu masalah keluarga Eve karena mereka yang mengurus semua data siswa.
"Yaa, siapa tahu, Bu. Hehe." Eve terkekeh canggung kemudian buru-buru pamit. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya ketika sudah ada di luar.
Ketika dalam perjalanan kembali ke kelas, tak sengaja ia bertemu dengan Ciel yang baru saja menuruni tangga. Eve menghentikan langkah ketika Ciel juga berhenti untuk memperhatikannya.
Senyuman Eve seketika mengembang. "Hai, manis! Baru latihan, ya?"
Ciel mengerutkan kening, bagaimana Eve tahu? Sedetik kemudian, gadis itu teringat sesuatu lantas menunduk menatap tas biolanya lalu ia memperhatikan Eve lagi. "Maunya gitu, tapi ruang musik dipakai Kak Andy buat ngeband."
"Lah? Emang ruang band kenapa?"
"Direnovasi," sahut salah satu teman Ciel yang kebetulan tadi berjalan bersamanya. "Harusnya, sih, hari ini latihan sama Bu Rona buat event akhir tahun nanti, tapi karena Bu Rona absen, kalah deh sama kakak kelas. Yang cowok tadi malah ikut-ikutan nyanyi."
Ciel mengangguk membenarkan. Sementara itu Eve terlihat berpikir, keningnya sampai berkerut karena mencari sosok Andy dalam ingatannya. Beberapa saat kemudian, ia bergumam mengerti.
Setahu Eve, Andy adalah atlet seluncur es yang belakangan ini pindah haluan jadi anak band. Aneh memang, Eve tidak mengerti jalan pikiran pemuda itu.
"Et, bentar," Eve menahan tangan Ciel saat hendak melewatinya. "Kalian mau banget latihan?"
Ciel hanya bergeming tapi temannya itu mengangguk semangat. "Banget, Kak Eve! Kami kehabisan waktu soalnya."
"Oke," putus Eve sambil menarik Ciel kembali ke ruang musik di lantai dua. "Ayo rebut ruang musiiik!"
"Eh, Kak, nggak usah," kata Ciel tidak enak tapi bukan Eve kalau ia tidak keras kepala. Ciel membuang napas dan akhirnya mengimbangi langkah cepat Eve. Ia sempat melirik ke arah temannya, menggeleng, isyarat bahwa tidak seharusnya mereka melakukan ini. Namun temannya itu hanya tersenyum. Ciel menyerah.
Ketika salah satu dari pintu ganda itu didorong masuk oleh Eve, sebagian mata teralih padanya, tapi tak sampai menghentikan dentuman dram dan melodi gitar listrik yang mengudara.
Seorang yang sebelumnya duduk di bangku penonton kini berdiri dan melangkah menghampiri Eve di dekat pintu masuk. Benar, dia adalah Andy. Pemuda itu bersedekap dan memasang ekspresi sok keren.
"Kenapa? Mau ambil alih?" tebaknya langsung tanpa basa basi.
Eve membuat raut pura-pura terkejut, ia menutup mulut dengan tangan. "Astaga, betul banget! Bapak kamu peramal, ya?"
"Kan yang nebak gue, kenapa lo bahas bapak gue?"
"Biar romantis." Eve berdecak. Kini ia beralih menarik Andy ke sudut ruangan, setidaknya jauh dari teman-teman mereka yang mungkin menguping. Ia berhenti kemudian berbalik untuk bertatap muka. "Gue banyak kerjaan, nih, jadi dipersingkat aja. Lo balikin ruang musik ke anak orkes dan masalah selesai, gimana?"
"Lo pikir semudah itu?" Eve bergerak mundur sampai punggungnya menyentuh tembok saat Andy mengurungnya dengan sebelah tangan.
Ciel yang sebelumnya memperhatikan mereka dengan curiga seketika melebarkan mata dan berpaling, mengalihkan pandangan pada temannya tadi yang malah fangirl-an pada kakak kelas. Ciel menunduk, mendadak banyak pertanyaan dalam kepalanya, salah satunya yaitu apakah ia baru melihat orang berciuman?
Faktanya Andy hanya mencobai Eve, tapi bukannya malu, salah tingkah, atau sejenisnya, gadis itu tetap memasang ekspresi remeh.
"Lo mau apa?"
Andy tersenyum miring. "Lo harus mau jalan sama gue sebelum malam tahun baru."
Eve mengangguk tak acuh. "Boleh."
"Oke." Andy ikut mengangguk dan menarik dirinya. Pemuda beriris cokelat itu menepuk tangan beberapa kali untuk mendapat perhatian temannya. "Ayo cabut, kita main lain kali aja."
Setelah Andy dan teman-temannya pergi, Eve juga menyusul, tapi Ciel menahan tangannya sebelum benar-benar keluar.
"Kak Eve diapain?" tanyanya. Eve terbelalak kaget, apa ia tak salah dengar, Ciel mencemaskannya? Gadis itu merengut saat tahu apa yang dipikirkan kakak kelasnya itu. "Nggak usah ge-er, aku tanya biar nanti kalo Kak Andy ambil ruang musik lagi, kami bisa ngobrol dan buat perjanjian."
"Ealah," Eve tak begitu ambil pusing. "Yaa, gitu lah. Kapan-kapan aja, ya, aku ceritain." ia mengangkat sekilas lembaran hasil ulangan di tangannya. "Aku mau balik dulu, kasih ini ke anak-anak, oke? Dadah, Manis!"
Bersambung
Nb. Terima kasih saya sampaikan kepada Mas Jerom yang mencetuskan nama danso untuk Indy. Btw ini sudah mulai komplikasi, lhoo.
(Part satu ini emg sengaja pendek. Thx)