"Gue nggak pingin ada sedih-sedihan," gumam Eve parau sambil mengeratkan pelukannya pada Ariel, berusaha menghentikan air mata yang terus mengalir. "Tapi nggak bisa."
Ariel mengusap punggung Eve untuk menenangkannya. Malam ini Eve akan pergi, Cindy dan Jino sudah ada di bawah untuk mengemasi barang-barangnya. Ariel tidak bisa berkomentar apapun kali ini. Dia hanya bisa menenangkan Eve, tapi pikirannya melayang jauh pada hari-hari setelah hari ini. Rasanya sulit membiasakan dirinya tanpa Eve.
Eve semakin mengeratkan pelukannya saat seseorang mengetuk pintu kamar.
"Eve?" itu Shania. Eve membenamkan wajahnya pada bahu Ariel agar Shania tidak bisa mendengar isak tangisnya. "Kamu baik-baik aja?"
"Eve ketiduran, Ma." Ariel buru-buru mendorong Eve ke kasur dan ikut berbaring di sebelahnya ketika pintu kamar dibuka. Shania tersenyum kecil melihat mereka saling memeluk.
"To-tolong bangunin, ya. Kasihan Cindy sama Jino nunggu lama di bawah."
Ariel mengangguk saja. Ia merenggangkan pelukannya dan menatap Eve setelah Shania berlalu. "Ayo, Eve."
"Gue takut."
"Lo sendiri yang bilang mereka baik, kan?"
Eve menggeleng. "Gimana kalau itu cuma siasat biar aku mau ikut mereka?"
"Eve." Ariel mengguncang bahu Eve untuk menyadarkannya. "Nggak ada orangtua yang rencanain hal buruk buat anaknya. Kalau mereka nggak sayang sama lo, mereka nggak bakal cari lo selama ini. Lo butuh kasih sayang mereka, keluarga kandung lo. Lo putusin buat ikut mereka, sekarang waktunya lo tanggung jawab atas keputusan lo."
"Apa gue bisa?"
"Eve yang gue kenal bisa ngelakuin apa aja." Ariel tersenyum manis, membuat senyuman itu akhirnya menular pada Eve. Ariel menarik Eve dalam dekapannya lagi. "Sini lo, Alay."
Dada Shania terasa sangat sesak, membuatnya sedikit kesulitan bernapas. Tapi ia selalu tersenyum, tidak mau membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.
Beberapa pasang mata yang empunya saling terdiam di ruang tamu akhirnya menaruh atensi ketika mendengar langkah kaki dari tangga. Ariel dan Eve muncul dari sana dengan sisa air mata yang tidak bisa disembunyikan. Eve tersenyum tipis pada orang-orang di sana.
"Mama," lirih Eve sambil mendekati Shania. Ia memeluknya, yang seketika memunculkan sesak di antara mereka. "Terima kasih."
Eve tidak tahu akan mengatakan apa setelah semua yang telah Shania lakukan untuknya selama ini. Kalau ada kata yang lebih untuk mengekspresikan rasa sayangnya pada Shania selain terima kasih, Eve pasti akan menggunakannya.
Shania membalas pelukan Eve dan akhirnya menangis juga. "Maafin aku, ya. Kamu pasti benci sama Mama karena berhenti berusaha cari keluarga kandung kamu, Eve."
Eve menggeleng. "Nggak apa, Ma."
Gadis itu kemudian beralih pada Sakti dan bicara hal serupa. Sakti mungkin tidak terlalu berpartisipasi dalam kisahnya kali ini, tapi dulu Sakti telah mengajarkan banyak hal padanya. Sakti mengajarkan apa itu tanggung jawab, dia juga mengajarkan pada Eve bermain basket dan berenang. Sakti selalu ada untuk Eve ketika Shania sedang pergi. Eve juga menyayangi Sakti seperti ia menyayangi Shania.
Eve beralih pada Ariel dan tersenyum kikuk. "Hai, Krib."
"Nggak usah ngomong. Gue tahu apa yang mau lo omongin."
"Apa?"
"Gue juga sayang lo, Eve."
Eve tersenyum tipis dan menarik Ariel dalam dekapannya. "Lo bakal selalu jadi kakak gue."