"Siapakah yang membuat kita berdua bertemu," Eve bersenandung senang sambil bergoyang asal di dapur. Ia lalu menghampiri Ariel di ruang tengah dengan semangkuk sereal. "Semuanya berkata itu adalah takdir,"
Ariel melirik malas ke arah Eve, mendengus samar kemudian. Sejak bangun tidur pagi tadi, sampai siang ini, Eve terus menyanyikan lagu itu. Ariel jadi tidak bisa fokus melakukan apa-apa karena sekarang lagu itu merasuk ke otaknya dan tak mau hilang.
"Lo nyanyi lagu apa, sih?" tanya Ariel pada akhirnya.
Eve menyuapkan sesendok sereal pada Ariel dan mengendik. "Nggak tahu. Kemarin Nanda nyanyi lagu itu mulu, terus sekarang gue ketularan. Eh, yang nyanyi mirip lo, beneran. Namanya Calista."
Ariel menaikkan sebelah alisnya tertarik. Setelah menelan sereal dalam mulutnya, gadis itu mendekati Eve untuk minta suap lagi. Eve menurut saja.
"Hari ini lo free, nggak?" Ariel membuka mulut untuk menerima suapan Eve dan menatapnya, menanti jawaban.
Eve terlihat berpikir. "Free, sih. Mau apa lo? Ngajak gue kencan?"
Ariel mengangguk. "Gue mau jalan-jalan. Kayanya kita juga udah jarang pergi bareng."
"Kenapa lo nggak minta Kak Amel temenin aja?" balas Eve lalu memakan serealnya.
"Kan udah dibilang, kayanya kita juga udah jarang pergi bareng. Itu artinya gue mau pergi sama lo, dodol. Gimana, sih?"
Eve mengangguk senang karena jarang sekali Ariel menawarinya jalan-jalan. "Boleh, boleh. Beliin gue es krim tapi, ya."
•••
"Chuuuu bat!" Eve mengambil salah satu baju dari gantungan dan menunjukkannya pada Ariel. "Gemes nggak sih pinguinnya? Kaya guee."
Benar, sekarang mereka ada di salah satu pusat pembelanjaan. Ariel sebenarnya ingin mengajak Eve ke tempat terbuka, tapi karena hujan akhirnya mereka memutuskan untuk ke mall saja.
Ariel menghampiri Eve, mengambil baju dari tangan adiknya dan menatap bergantian. Kening Ariel berkerut ngeri saat ekspresi Eve yang berusaha menirukan wajah pinguin di kaus ternyata sangat mirip. Ariel menggeleng dan mengembalikan kaus itu di tempatnya.
"Gak ah, jangan putih. Gampang kotor." Ariel lalu mengambil baju lain dari gantungan sebelah kanannya. "Ini aja, bagus."
Eve mengamati jaket cokelat muda yang dipadukan dengan dalaman hitam di tangan Ariel. "Nope. Itu terlalu feminim buat gue yang petakilan."
"Ya, udah. Buat gue aja."
"Ya, udah. Kapan-kapan gue pinjem."
Ariel menatap Eve malas, tapi anak itu sudah bersenandung sambil berjalan mendahuluinya untuk melihat baju-baju yang lain. Tak lama, mereka keluar tempat itu dengan satu paperbag berisi jaket cokelat muda tadi. Ariel lalu mengikuti Eve masuk ke toko sepatu tepat di sebelahnya.
"Mending gue cari sepatu buat sekolah atau buat basket?" tanya Eve pada Ariel, ketika ia berhenti di antara rak khusus olahraga dan khusus sekolah.
"Sepatu lo kan masih bagus, mending cari yang buat bas--" Ariel baru menyadari sesuatu. Ia menoleh pada Eve dan menatapnya heran. "Sejak kapan lo ikut basket? Bukannya lulus SMP, lo udahan main basketnya?"
Eve menaikkan sebelah alis, sedetik kemudian tersenyum tengil. Gadis itu menegakkan postur tubuhnya dan menatap sombong pada Ariel. "Lo pikir gue lebih tinggi dari lo kaya sekarang gara-gara gue makan tiang? Basket, lah! Makanya, lo kalo pelajaran olahraga jangan lembek kaya ubur-ubur, dong."