4. Lie

1.7K 163 7
                                    

Eve berkali-kali membuang napas gelisah sore itu, kedua kakinya tak bisa berhenti melangkah, terus mondar-mandir di dekat pintu kamar. Gadis itu kembali melihat ponsel, membuka sandi, dan menghubungi nomor Andy tapi lagi-lagi ia tak mendapat balasan.

Benar. Penyebab semua ini adalah Andy.

Ingat kejadian di ruang musik ketika mereka berdua membuat sebuah perjanjian agar Ciel dan teman-temannya bisa berlatih? Andy juga pernah bilang bahwa Eve tidak bisa menolak ketika ia menagih perjanjiannya untuk kali kedua. Masalahnya adalah pemuda itu menentukan waktu tanpa berdiskusi dulu dengan Eve, dan pilihannya itu jatuh pada hari ini, hari di mana ia seharusnya menemani Ariel pergi ke pasar rakyat. Mereka berdua juga menentukan waktu yang sama, yaitu pukul lima sore.

Eve memejamkan mata frustasi lantas meloncat ke kasur dan membenamkan wajahnya pada bantal. Bagaimana pun ia sebenarnya tidak ingin membatalkan salah satu janjinya, maka dari itu ia menelpon Andy, tapi pemuda itu sama sekali tidak merespon padahal Eve hanya ingin mengganti jam jika memang pemuda itu bisanya hanya hari ini.

Di sisi lain, Ariel terlihat begitu bersemangat pergi ke pasar rakyat dan menonton idolanya. Eve pasti menjadi orang jahat bila ia menolak untuk ikut dan malah pergi bersama orang lain. Sekarang sudah jam empat sore, tidak ada banyak waktu untuk berpikir, menuntut Eve membuat sebuah keputusan.

Gadis itu menegang kemudian menengadah cepat dan nyaris serangan jantung melihat Ariel sudah berbaring di sebelahnya.

Ariel menoleh heran, "Kenapa muka lo kaya abis lihat setan?"

"Lupa, ya? Lo, kan, emang setan." Eve terkekeh puas. Dulu waktu SMP, Ariel ada praktik bermain drama, kebetulan sekali ia mendapat peran setan penunggu pangkalan ojek bersama dua teman lainnya.

Ariel melebarkan mata galak dan mencengkeram tangan Eve untuk menarik perhatiannya. "Mau gue cium lagi, hah?!" ia tersenyum penuh arti dan mendekatkan wajah mereka, Eve tidak bisa menghindar karena ia ditahan. "Sekarang cuma kita berdua di rumah, nggak ada yang bisa halangin gue."

"Kok, lo nafsu, sih?" Eve kemudian terkejut, rautnya berubah sendu ketika ia sadar ucapannya barusan bisa dikembangkan menjadi kalimat baru. "Jadi selama ini lo deket-deket gue bukan karena sayang tapi nafsu?!"

"Hehh, mulutnya, minta disambelin lo?" Ariel mengusap wajah Eve gemas lalu mencubit pipi tembamnya. "Mana ada gue nafsu sama lo? Gak doyan sama bocah labil gue."

Eve terkekeh tengil mendengarnya. "Lo doyannya macam Kak Amel, ya? Oh, atau malah Kak Amelnya?"

"Gue pingin marah sama lo, serius. Tapi lo gemesin banget, gue jadi males marah."

"Ada aja lo, Kanebo Kering."

Ariel mengangguk asal dan beringsut turun dari kasur. "Udah jam segini, mending lo mandi terus siap-siap."

"Iyeee," balas Eve malas. Setelah Ariel keluar kamar, ia membuang napas. Bagaimana ini, siapa yang harus Eve pilih?


•••


Pukul setengah lima sore, Eve sudah selesai berpakaian dan sekarang sedang dalam perjalanan menghampiri Ariel di lantai bawah. Tiba-tiba saja ia berkeringat dingin. Sudah jam segini dan ia belum juga memutuskan akan ikut siapa.

"Dih, tumben amat lo gercep, biasanya lemot kaya siput." ledek Ariel ketika ia melihat Eve menghampirinya di ruang tengah. Seperti kasus Shania dan Sakti dua hari lalu, Ariel juga menyalakan televisi tapi fokus pada ponsel.

Eve mengambil tempat di sebelah Ariel dengan tidak tenang. Baru saja ia menerima pesan dari Andy yang mengatakan bahwa pemuda itu sudah dalam perjalanan, ia bahkan mengirimkan video tengah berjuang di tengah macet sebagai bukti.

EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang