11. Parents

1.5K 158 21
                                    

"Apa benar ini rumah Ibu Shania?"

Dia adalah wanita yang berpakaian rapi. Rambutnya pendek sebahu, ada kacamata yang menutupi iris cokelat di wajah cantiknya. Meski hanya tersenyum tipis, Ariel bisa melihat lesung pipi di sana.

Sesuatu dari tamunya itu menciptakan perasaan familiar bagi Ariel, rasanya mereka seolah pernah bertemu, walau nyatanya ini adalah kali pertama mereka bertatap muka. Ariel menggeleng pelan, mengusir asumsi anehnya, lalu balas tersenyum.

"Benar, silahkan masuk. Saya panggilkan." katanya sambil membuka pagar lebih lebar.

"Panggilin Mama gue, Mel. Bilangin ada yang cari." kata Ariel ketika melewati Amel. Gadis itu mengangguk dan segera pergi ke halaman belakang untuk mencari Shania.

Sementara itu Ariel mengantar wanita itu ke ruang tamu.

"Tunggu sebentar, ya." Ariel tersenyum sopan, dibalas senyum manis wanita itu. Sungguh, rasanya begitu tak asing. Tapi, siapa?

Ariel berpapasan dengan Shania dalam perjalanannya ke dapur untuk membuat teh. "Ada siapa, Ril?" tanya Shania.

"Nggak tahu. Cari Mama katanya."

Shania mengernyit, rasanya dia tidak ada masalah dengan seseorang. Shania lantas tersenyum ketika ia sampai di ruang tamu.

"Maaf lama," kata Shania ramah sambil duduk di seberang wanita itu. "Kalau saya boleh tahu, ada apa, ya?"

Wanita itu tersenyum kecil. "Sebelumnya saya minta maaf karena datang selarut ini. Oh iya, saya ibunya Yori, nama saya Cindy."

"Yori?" Shania mengernyit lagi, berusaha menemukan wujud seseorang bernama Yori dalam ingatannya. "Ah, Yori. Yang waktu itu di rumah sakit bareng Lala?"

Cindy mengangguk membenarkan. "Iya. Dan maaf sudah merepotkan, apa... anak Anda baik-baik saja?"

"Iya, enggak apa-apa. Kata dokter tangan kirinya kesleo, tapi nggak parah. Dia sekarang baik-baik aja."

Cindy masih tersenyum, tapi kali ini Shania merasa ada yang berbeda dari senyumnya. "Kebetulan, saya juga mau membahas soal ... Eve. Namanya Eve, kan?"

"Iya." Shania mengernyit. "Eve kenapa?"

Shania melihat Cindy mengeluarkan dua map dari tas tangannya, ia meletakkan itu di meja dan menatap Shania dengan senyum bersalah.

"Ini agak susah dipercaya, tapi harus saya sampaikan." Cindy membenahi kacamatanya yang merosot. "Saya ... orangtua kandung Eve."

Ada perasaan yang menghentak Shania. Ia meraih map itu, membaca masing-masing isinya dengan tangan bergetar.

"Hasil itu saya dapat dari sampel darah Eve dan kulit kepalanya."

Shania menatap tidak percaya kertas-kertas itu. Semua data di sana menunjukkan kecocokan.

"Saya--"

"Setelah enam belas tahun," gumam Shania, suaranya bergetar. Lantas, ia menatap Cindy tajam. "Setelah enam belas tahun, kenapa Anda baru muncul sekarang?! Dulu kalian membuangnya di depan rumah kami, dan sekarang Anda ingin mengambilnya lagi?"

Ariel yang mendengarnya seketika berhenti melangkah.

"Tunggu, saya bisa jelaskan." Cindy menyanggah sebelum emosi Shania makin menjadi. "Kejadian itu adalah kecelakaan. Saya tidak berniat membuang Eve, sama sekali tidak. Saya juga tidak pernah menganggap Eve sebagai sebuah kesalahan, saya menyayanginya, tapi orangtua saya tidak bisa menerima kenyataan itu.

"Beberapa jam setelah melahirkan, saya mendapat kabar bahwa bayi saya hilang dari ruang perawatan. Seseorang, yang beberapa tahun belakangan ini saya sadari adalah suruhan ayah saya, membawanya kabur. Polisi berhasil menangkap pelaku, tapi mereka bilang tidak bisa melacak keberadaan bayi saya."

EveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang