TIGA PULUH DELAPAN

837 36 5
                                    

Aliv hanya bisa pasrah saat tangannya digandeng Adnan entah menuju kemana, kepalanya celingukan berharap tidak ada Aura di sekitarnya.

Adnan berhenti dan bersender di tembok dekat kamar mandi, kali ini ia hanya menginginkan satu hal, yaitu melihat wajah Aliv.

Aliv yang menyadari Adnan terus memandanginya langsung menutup seluruh wajahnya. Adnan mengeluarkan kedua tangannya dari saku celananya dan memegang tangan Aliv yang menutupi wajah cantik cewek itu untuk ia turunkan.

"Nan aku kan udah bilang kita putus sampai semua normal lagi." Suara Aliv yang terdengar sangat lirih itu membuat Adnan menggoyangkan genggamannya pada tangan Aliv.

Aliv mendongak, menatap mata tajam milik Adnan.

"Ya bukan berarti aku nggak boleh ketemu kamu." Tegas Adnan.

"Kamu boleh ketemu sama aku, tapi jangan di sekolah. Hari ini Aura udah masuk," ucap Aliv, ia melihat ke sekitarnya, masih waspada takut ada seseorang yang mendengarkan percakapannya dengan Adnan.

"Aku cuma mau liat wajah kamu, senyum kamu. Bukannya kamu yang lagi marah kayak gini," ucapan Adnan membuat Aliv membuang napasnya lelah.

Ternyata Adnan tidak sedewasa Danan. Aliv kali ini harus ekstra sabar dan tidak boleh mengeluarkan kalimat yang salah.

"Aku bukannya marah sama kamu. Aku cuma takut Aura liat kita."

"Kalo Aura liat, bilang aja nggak sengaja ketemu. Terus kita ngobrol sebentar." Lagi-lagi ucapan Adnan membuat Aliv membuang napas lelahnya.

"Iya kalo Aura liat kita pas biasa aja. Kalo Aura liat kamu pegang tangan aku gini." Aliv menunjukkan tangannya yang digenggam Adnan. "Kamu bakal ngomong apa? Nggak sengaja gitu?"

"Sekali lagi aku cuma mau liat kamu." Tegas Adnan.

"Kamu bisa liat aku walaupun jarak kita lima meter."

"Beda Aliv."

"Kamu udah janji kan, bakal nunggu aku. Kalo kayak gini aja kamu udah nyamperin aku, gimana kamu bisa nunggu aku lama?" ucap Aliv pelan.

Aliv menarik tangannya dari genggaman Adnan. Walaupun Aura tidak melihatnya, siswa-siswi lain bisa saja melihat dan berbicara yang aneh-aneh kepada Aura.

"Aku bisa nunggu kamu selama apapun, tapi kamu harus ngeyakinin aku kalo akhirnya kamu bakal sama-sama sama aku," ucap Adnan semakin tegas.

"Maksud kamu, kamu nggak yakin kita bisa sama-sama?" tanya Aliv tidak percaya.

"Aku bukannya nggak yakin, aku cuma mau kamu pastiin bakal sama aku."

"Terus kamu pikir kita kayak gini itu buat orang lain? Buat cowok lain? Kamu salah besar." Aliv menjauhkan tangannya yang hendak digapai oleh Adnan.

"Tapi kalo kamu mikirnya semua yang aku lakuin itu buat cowok yang nantinya aku pilih, kamu bener, karena aku ngelakuin semua ini buat kamu Nan. Kalo kamu sampe mikir aku nggak peduli sama kamu, kamu inget lagi gimana aku relain kamu disana sama Aura. Yang bahkan kamu itu bukan milik Aura. Aku nggak egois, aku cuma cemburu kalo kamu deket sama Aura," ucap Aliv jujur, mungkin ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan perasaannya, berpura-pura seolah ia baik-baik saja.

"Yang harusnya disana itu bukan kamu, aku nggak ngerti gimana awalnya kamu nyetujuin ngelakuin itu." Aliv semakin mendongak, tapi justru melihat wajah Adnan yang semakin luluh malah membuatnya menangis.

Adnan mendekat, memeluk cewek dengan sepatu hitam itu. Ia mengusap punggung Aliv yang berbalut seragam.

"Aku ngelakuin ini semua biar kamu itu bisa balik lagi ke diri kamu, buat jaga perasaan Aura. Kamu harusnya ngerti Nan. Tugas kamu itu cuma buat hubungan Aura baik-baik aja."

Intelligible (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang