19

942 195 14
                                    

Dua hari aku menunggu kabar dari Seok Jin.

Pemuda itu belum memberi kepastian kepadaku. Setiap kali kuhubungi dia pasti menjawab, "maaf, aku sibuk mengurus pembukaan hotel baru di Geoje. Beri aku sedikit waktu."

Aku mulai muak.

Apalagi saat tanggal pernikahan sudah jelas. Kalau di tunda-tunda lagi, semua akan terlambat.

Maka dari itu, pada suatu malam aku mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada ayah dan ibu. Awalnya aku merasa ragu. Sebab, aku tidak bisa banyak bicara di depan mereka karena setiap ucapanku pasti akan disahut tanpa mendengar pendapat dariku dulu.

Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba terlebih dulu. Ini demi masa depanku. Aku harap orangtuaku bisa mengerti jika aku bicara baik-baik.

Berjalan nyaris berjingkat menuju ruangan dimana orangtuaku menghabiskan waktu mereka jika ada waktu luang, aku mulai gelisah ketika sampai di ambang pintu.

Mataku menatap gagang pintu dengan nanar, membayangkan apa-apa saja yang akan terjadi di dalam sana setelah aku masuk. Biasanya, setelah aku masuk ruangan ini aku tidak akan bisa cepat keluar. Itu yang membuatku depresi.

Menarik napas panjang, aku sudah bertekad untuk tetap maju apapun yang terjadi. Menghela napas dari mulut, aku pun mulai meraih gagang pintu dan memutarnya.

Ruangan bernuansa serba cokelat kemerahan yang berasal dari furnitur kayu yang dicat coklat menyala yang membuatku selalu merasa tercekik di dalam sini.

Saat itu aku melihat ayah tengah duduk di meja kerjanya dengan sibuk pada laptopnya dan ibu berada di sofa sudut ruangan sedang membaca majalah. Keduanya melirikku sekilas sampai ibu yang bersuara lebih dulu.

"Jennie, masuklah. Ada yang ingin ibu perlihatkan kepadamu."

Napasku terhenti saat itu. Bongkahan kata yang hendak keluar tertelan begitu saja.

"Hey kenapa diam?" tegur ayah, "kau tidak dengar ibumu memangil."

Oke. Mentalku mendadak anjlok sekarang. Kemana perginya keberanian yang tadinya begitu membara? Masih di hadapkan dengan situasi begini saja aku sudsh tidak bisa berkata.

Kusanggupi panggilan ibu degan menghampirinya. Kuamati dari gelagatnya yang tampak berbeda dari biasanya. Wajah ibu tampak sumringah malam ini dan dia membiarkanku duduk di sampingnya setelah menghempaskan tumpukan majalah di pangkuanku.

"Pilih saja mana gaun pengantin yang cocok untukmu, biar ibu yang pilih dekorasinya," tutur wanita itu bersemangat.

Tenggorokanku mendadak kering kerontang. Tanganku bergetar menerima tumpukan majalah dengan banyak gambar gaun pengantin yang cantik di sana.

Jadi, mereka benar-benar ingin menjualku pada keluarga Seok Jin?

"Karna pernikahannya akan di adakan di luar ruangan pada musim gugur nanti, alangkah bagusnya jika altar berada di antara pohon dengan daun yang berguguran," ibu bergumam sendiri, membalik lembaran majalah di tangannya dengan antusias.

Sementara aku masih menatap tumpukan majalah di tanganku dengan nanar. Mentalku semakin terbebani untuk melobi kedua orangtuaku saat kudengar ayah bicara dengan seseorang di telpon sambil sesekali terkekeh.

"Selamat malam, Ketua Mahkamah ... Apa aku mengganggu waktu luangmu? ... haha ... Aku ingin mengundangmu makan malam minggu depan ... haha ... iya, keluarga kami akan berbesan dengan keluarga tuan Kim Seok Han musim gugur nanti ..."

Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak aku cintai.

Aku pun meletakkan tumpukan majalah di atas meja lalu mulai berbicara pada ibu.

Subete For You [KTH-KJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang