Pagi itu aku hanya sedang mengenakan gaun selutut bermotif bunga dengan tali yang melingkar di pinggang, setelah membersihkan diri. Tidak ada hal apapun yang terlintas dalam benak sampai aku selesai merias wajah dan menata rambut. Kulempar pandanganku ke luar jendela, melihat dengan sekilas cuaca yang sedang cerah.
Mengangkat tubuh, tungkaiku melangkah menyeberangi ruangan dan berhenti tepat di ambang jendela. Dari lantai dua rumahku, aku bisa melihat hamparan macam-macam bunga maupun tanaman hijau yang tampak segar. Daunnya dibasahi oleh air, yang menandakan bahwa mereka barusaja disiram.
Angin berhembus dari timur dan langsung menerpa wajahku, membuatku mau tak mau harus merasakan aroma musim panas ini. Manis, entah kenapa aromanya begitu manis masuk dalam rongga hidungku hingga membuatku melengkungkan senyum. Rasanya sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Cuaca serta aromanya seolah membawa musim semi dalam hatiku. Ataukah mungkin, ini pertanda suatu yang baik akan terjadi?
Netraku akhirnya kulepas dari pemandangan indah hari ini, melirik jam dinding dan bergegas untuk turun ke ruang makan. Aku tidak ingin suasana hatiku yang sedang baik mendadak di terpa badai topan yang sangat dahsyat hanya karna aku terlambat untuk sarapan bersama.
Suara lain yang kudengar selain suara tumit sepatuku yaitu gumaman yang terdengar semacam perdebatan ketika aku melangkah keluar dari kamar. Mataku memandang lurus pada dua manusia yang selama ini-maupun sampai nanti akan terus kupanggil ayah dan ibu. Alisku berkerut memandang mereka yang berjalan sedikit tergesa keluar dari kamar dengan pakaian yang tidak biasa.
Maksudku, mereka benar-benar tidak memakai setelan rumahan yang meski terdengar seperti 'pakaian sehari-hari yang biasa di pakai di rumah', faktanya tidak seperti itu. Dengan pakaian resmi dan dandanan yang resmi pula, kurasa mereka tidak sedang akan turun ke ruang makan untuk sarapan.
"Sudah kubilang setelan ini tidak cocok dengan jam tangan yang dihadiahkan oleh pak Menteri. Apa yang akan dipikirkan olehnya jika melihat jam tangan mewah yang dia berikan dipadukan dengan setelan lusuh seperti ini?". Aku mendengar ayah memprotes setelan Tuxedo silver keluaran brand ternama yang tampak lebih cemerlang dibanding sebutannya barusan.
Ibu yang tampak tergopoh segera meloloskan tas tangan berwarna hitam yang dipenuhi dengan gemerlap manik yang menyilaukan pada pergelangan tangannya, sementara kedua tangannya sibuk memasang anting dengan manik besar di telinga.
"Kalau kau tidak lupa untuk memberitahuku undangan penting begini sehari sebelumnya, aku bisa membeli setelan baru untukmu. Beberapa waktu lalu aku melihat tuxedo hijau zamrud di mall. Aku tidak berpikir akan membelikannya karna aku tidak mengerti dengan seleramu. Jadi, jangan salahkan aku atas kecerobohanmu sendiri," balas ibu.
Ayah mengerutkan dahinya, tampak tidak senang dengan ucapan ibu. Namun sesaat kemudian dia malah menimpali, "Jangan memakai perhiasan yang berlebihan, Ibu Presiden akan berpikir bahwa kau adalah wanita yang tamak."
Tunggu. Apa katanya tadi? Ibu Presiden? Ini bukan seperti apa yang kupikirkan, bukan?
Ibu berhenti. Pandangannya kaku sejenak, lalu kemudian membalas dengan nada rendah, "begitukah? Aku hanya ingin memakai apa yang pantas untuk bertemu dengannya. Baiklah, akan kulepaskan."
Memakai apa yang pantas? Kurasa yang benar adalah 'memakai perhiasan sebanyak yang kubisa'. Aku tidak yakin untuk meloloskan kalimat itu dari mulutku meski aku ingin. Bisa-bisa aku akan berakhir di meja makan tanpa bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Subete For You [KTH-KJN]
RomanceJennie Kim, tidak pernah diminta untuk dilahirkan menjadi dirinya yang sekarang. Penuh penekanan, pengekangan, dan aturan. Setiap tingkah dan lakunya di awasi ketat. Dan yang paling parah, dia terpaksa menjadi patuh supaya tetap dianggap sebagai ana...