03.

2.4K 381 13
                                    

"Masuk saja," kata itu nyatanya tak berhasil membuat perhatianku terbujuk oleh pemandangan sederhana dari rumah yang aku kunjungi saat ini.

Sebuah rumah yang benar-benar sederhana. Tidak memiliki banyak isi dan dipenuhi oleh benda-benda usang. Hal pertama yang mengundang perhatianku adalah sebuah laci yang tidak cukup besar berada di tengah ruangan. Hanya ada dua bingkai foto disana serta vas yang bunganya dibiarkan teronggok kering.

Nuansa rumah ini juga agak sedikit pengap. Aku mendongak, mencari sumber udara semacam ventilasi atau jendela. Tapi nampaknya, rumah ini jarang dihuni. Hanya terdapat satu lampu remang yang menerangi semua ruangan. Dan sebuah sofa usang yang tampaknya tidak cukup aman untuk di duduki terongok di ruangan ini.

"Kenapa heran? Tidak pernah lihat rumah seberantakan ini ya? Masuk saja. Memang tidak sebagus rumahmu."

Huh! Aku mendengus kesal. Bibir pemuda itu. Hm ... rasanya aku ingin meninjunya dengan tongkat bisbol. Pedas sekali kata-kata yang terucap dari mulutnya.

Perlahan aku mulai masuk. Kemudian mendudukan diri di sofa dengan perlahan.

Mataku masih saja menjelajahi isi rumah itu. Penasaran dengan apa yang ada pada setiap ruangan yang gelap itu.

Tiba-tiba sebuah benda menghantam wajahku.

"Pakai itu!"

Aku bingung melihat kaos dan celana olahraga di pangkuanku.

"Tidak bisa bicara sedikit pelan apa? Tidak takut urat di lehermu putus?" Dengusku sembari melengos.

Pemuda itu mendengus. Kemudian membuka sebuah pintu di belakang punggungnya dan mengerling padaku. Aku mematuhinya. Memasuki sebuah kamar dengan ranjang kecil dan meja kecil terletak di bawah jendela.

Setelah mengganti pakaianku dengan kaos kebesaran dan celana olahraga milik pemuda itu, langkahku perlahan mendekat jendela. Mencari gerendelnya kemudian membuka jendela itu lebar-lebar.

Angin senja mulai merangsek masuk. Membuat ruangan yang semula pengap menjadi begitu sejuk. Aku bisa melihat halaman kecil di depan kamar ini yang tampak tidak terurus. Andai saja ditanami beberapa bunga dan menyirami pohonnya, pasti akan menjadi seperti rumah pada umumnya.

"Sudah selesai belum?"

Aku terlonjak kaget. Tanpa mengetuk pintu atau permisi dahulu, pemuda itu tahu-tahu sudah membuka pintu dengan lebar. Syukur aku sudah mengganti baju. Kalau belum, aku bersumpah akan mencungkil matanya yang buram itu.

"Kenapa kau buka jendelanya?"

"Kau tidak sesak napas apa tidur dalam ruangan pengap begini?"

"Tidak. Aku tidak suka jendela terbuka. Tutup lagi!" perintahnya sebelum pergi.

Aku mendengus kasar kearahnya lenyap, kemudian keluar dari kamar tanpa menutup jendela seperti yang diperintahkan.

Aku mendapati sebuah meja kecil sudah tertata di tengah ruangan, lengkap dengan panci berisi mi ramen yang uapnya mengepul ketika tutupnya di buka. Si kecil Cooper tengah mengusung tiga piring kecil dan tiga pasang sumpit dengan tangan kecilnya. Bibirku tersenyum kecil melihat pergerakan bocah kecil itu yang terlihat lebih cekatan dari usianya.

Nampaknya dia sudah terbiasa mandiri sejak kecil dan tentu saja aku yakin kalau kakaknya yang super galak ini yang mendidiknya.

"Noona ayo duduk. Kita makan," ucap Cooper yang membuatku terkesiap dari kegugupan.

Lalu aku duduk di salah satu sisi meja yang kosong. Menatap aktifitas yang tengah terjadi dimana pemuda itu dengan telaten meletakkan mi ramen pada piring Cooper yang kemudian ia lahap dengan hati-hati.

Subete For You [KTH-KJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang