20

947 189 7
                                    

Kembali kubaringkan tubuhku pada sofa di sudut ruangan. Aktifitas rutin yang kulakukan setelah membersihkan diri adalah duduk santai sambil menghadap keluar jendela besar.

Aku sudah mirip anak ayam dalam kandang. Dimana tidak ada jalan keluar lain. Sialnya, jendela di paviliun ini sengaja di paku dari luar supaya tidak bisa dibuka. Yeah, tentu saja semua jalan keluar di tempat ini diisolasi bersamaan dengan aku pertama kali di kurung disini.

Jadi, satu-satunya sumber oksigen yang kupunya adalah ventilasi kecil di atas sana. Sedikit sesak memang. Tapi beruntung hujan sudi turun saat malam, membuatku sedikit sejuk setelah seharian terpanggang karena suhu yang tinggi di musim panas.

Ketika kudengar seseorang sedang membuka kunci pintu, aku tak lagi terkejut. Pasti ibu atau ayah yang mengantar sarapan untukku. Jadi aku tetap saja pada posisiku dan memilih menjawab pertanyaannya dengan tanpa menoleh sedikitpun padanya.

Sampai pintu terbuka aku tidak mendengar suara hak tingginya yang khas itu. Dari instingku dia meletakkan nampan di atas nakas dan pasti sebentar lagi dia akan bertanya, 'kau sudah memikirkan perbuatanmu?'

Dan seperti biasa, jawabanku akan tetap sama, 'tidak. Aku tetap tidak mau menikah.'

Pun begitu ibu akan memberiku ancaman sebelum dia melenggang pergi. Aku tidak peduli selama apa aku dikurung. Seminggu mendekam disini pun tak akan membuatku berubah pikiran. Aku siap untuk di kurung dalam jangka waktu lama. Bahkan sampai kiamat sekalipun.

"Nona, sarapan anda sudah siap."

Aku terkesiap bangun saat itu. Kepalaku menoleh kelewat cepat dan menemukan sosok asisten rumah tanggaku yang mengirim sarapan hari ini. Tumben? Dimana nenek sihir itu?

"Bibi, dimana ibu?"

Bibi Ji Ran menatapku penuh iba. Selain Histor, bibi Ji Ran merupakan asisten rumah tangga keluargaku sejak dulu. Bahkan sejak ayah masih muda. Dia pelayan paling terpercaya yang dimiliki keluarga ini. Jadi, dia tahu semua yang kualami selama berada di rumah ini.

Aku masih ingat, dulu sewaktu aku dikurung, bibi Ji Ran menyelinap masuk dan memberiku beberapa camilan dan coklat.

"Nyonya dan Tuan sedang mempersiapkan acara makan malam mereka. Sudah pergi sejak pagi."

Entah kenapa hatiku rasanya plong. Bibi Ji Ran mendekat.

"Nona, anda baik-baik saja bukan?"

Aku tersenyum tipis seraya mengangguk, "jangan cemas. Aku sudah terbiasa dengan ini, bi."

Mata bibi Ji Ran mulai memerah dan tak berapa lama air matanya sudah menggenang di pelupuk.

"Maafkan saya, nona. Saya tidak bisa berbuat apa-apa," hidung bibi Ji Ran kembang kempis saat berbicara padaku.

Kuraih pundak renta wanita berusia kepala enam tersebut lalu kuelus pelan. Mengharukan dimana bibi Ji Ran yang justru menangisiku, bukan orangtuaku.

"Tidak papa, bi. Aku mengerti."

Saat aku berusaha menenangkan bibi Ji Ran yang tengah menangis semakin tersedu, suatu ide muncul begitu saja di benakku.

"Bi, bisa kau lakukan sesuatu untukku?"

Bibi Ji Ran mendongak. Dia tak menolak dengan banyak alasan, justru dia mengangguk. Dan saat itu aku beringsut untuk mengambil selembar kertas usang dan pena dari laci. Kemudian menuliskan sesuatu disana.

Setelah itu aku segera memberikan lipatan kertas itu pada bibi Ji Ran.

"Aku sudah memberi alamat dan namanya di dalam. Tolong lakukan ini untukku, bi."

Subete For You [KTH-KJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang