02.

3K 367 4
                                    

Sejujurnya aku bukan Wonderwoman atau sejenis pahlawan yang tergabung dalam Avangers yang bisa menahan rasa sakit dalam bentuk apapun.

Aku bisa saja membenci sebuah cairan yang membuat luka di siku dan lututku terasa seperti di bakar. Tapi aku tidak berani mengaduh sebab mata tajam pemuda yang tengah menempel plaster luka di lututku akan dengan senang hati melotot terhadapku.

Percayalah, mata gelap pemuda itu membawa suasana mencekam pada sekelilingku. Untuk pertama kali aku merasa berada dalam cengkraman malaikat maut.

Setelah menempel plaster di sikuku, pemuda itu menyingkir.

"Minta maaf pada noona ini," kata pemuda itu dengan suara yang cukup keras hingga membuat tubuh bocah kecil itu tersentak.

"Tapi, hyung─"

"Cooper Kim!

"Hei, jangan terlalu kasar padanya. Aku tidak papa," sahutku berusaha menjadi penengah diatara ketegangan kakak beradik tersebut. Aku yakin mereka kakak beradik, bukan anak yang dipaksa memanggil hyung oleh ayahnya seumur hidup.

Jika dilihat tidak ada kemiripan yang cukup signifikan diantara mereka kecuali keimutan yang tersirat sekilas dari wajah pemuda menjengkelkan itu.

"Kau tidak perlu ikut campur!" bentak pemuda itu padaku.

Ya ampun. Apa aku barusaja dibentak olehnya? Sial! Demi apa aku menyesal tidak melempar kaleng soda tadi lebih awal.

"Cepat minta maaf. Kau tahu apa kesalahanmu, bukan?" pemuda itu lebih menekankan kalimatnya. Menciptakan genangan air mata di pelupuk bocah kecil yang bernama Cooper itu tadi. Seolah dia tengah meminta belas kasihan pada kakaknya yang kejam.

"Jangan sampai aku mengatakan apa saja kesalahanmu," tambah pemuda itu.

Si bocah menunduk. Maju dua langkah ke arahku dan mulai terisak kecil.

"Maafkan aku, noona. Aku sudah menumpahkan cat di bajumu dan membuatmu terluka begini," suara bocah itu untuk pertama kali terdengar dan membuat rasa penasaranku terhadapnya sedikit terbayar. Awalnya aku sempat kesal pasal dia menumpahkan catnya di rokku, meski aku tahu itu sebuah ketidaksengajaan. Tapi setelah mendengar suaranya yang nyaris mencicit, rasanya aku ingin mencubit pipinya yang merona merah itu.

Begitu sebuah benda bening meluncur mulus melalui pipinya, mendadak saja aku menaruh rasa kesal pada pemuda tadi yang memarahi adiknya terlalu keras.

"Siapa namamu tadi?"

"Cooper Kim," jawabnya lambat-lambat.

Kuraih pundak mungilnya sembari menyapu air mata dipipinya.

"Laki-laki pantang untuk menangis. Kau ingat apa yang aku katakan?!" tahu-tahu pemuda itu membentak lagi. Seolah tidak puas hanya dengan melihat adiknya menangis. Aku melemparkan pelototan serta dengusan tajam pada pemuda yang kini bersandar pada meja kasir.

"Jangan dengarkan kakakmu. Laki-laki boleh saja menangis sesekali. Menangis bukan berarti kau lemah. Tapi menangis itu pertanda bahwa kau orang yang kuat. Orang kuat itu menangis hanya pada saat dia sudah lelah menahan kekuatannya," aku berujar seraya menatap kedua bola matanya yang memiliki manik coklat terang dibingkai cantik dengan bulu matanya yang panjang dan tebal.

"Aku tahu kau tidak sengaja menumpahkan cat di rokku. Dan tentang luka ini, lupakan saja! Lagipula sama sekali tidak sakit," lanjutku, "kau tidak papa, kan?"

Cooper menggeleng polos sambil mengerjapkan mata ketika aku memeriksa bagian tubuhnya yang ikut jatuh bersamaku tadi.

"Jadi, mau berteman?" kuankat jari kelingkingku demi menghibur bocah kecil yang nampak masih ketakutan itu.

Bocah itu menatap kelingkingku yang menggeliat sesaat, kemudian dia menautkan kelingkingnya yang kecil dan mengangguk seraya tersenyum manis.

"Cooper, ayo kita pulang."

Tiba-tiba pemuda itu menginterupsi. Entah apa saja yang telah terjadi selama aku berusaha menghibur bocah kecil itu. Yang mana tahu-tahu ada seorang pemuda lain yang sudah berada di toko. Aku pikir dia pelanggan. Tapi, melihat kakak Cooper memberikan jaket biru yang ia pakai pada pemuda tadi, aku jadi mulai paham.

"Kau, ikut aku," ujarnya seraya melengos menuntun Cooper pergi.

"Kemana?" tanyaku berjalan pincang mengikutinya.

Pemuda itu berhenti, berbalik menatapku dengan tajam.

"Kalau kau mau pulang dan dianggap barusaja melahirkan di jalan, silahkan saja!"

Aku menunduk menatap rokku yang mulai mengering. Ah, bodohnya aku. Sekalipun aku bisa membuang baju ini nanti, tetap saja aku tidak mau dianggap orang gila yang habis melahirkan di jalan.

Menatap punggung pemuda yang berjalan menjauh menembus jalanan sepi, masih sedikit bingung aku mengikutinya dengan terpincang.

Sial, aku berhasil di perbudak oleh pemuda sombong itu tadi. []





[Hai, i'm sorry guys. Hp ku rusak total. Blm ada kesempatan buat beli baru. Ini aja boleh minuem. Wkwk.


So, aku nggak tahu kapan bisa publish lagi. Sekali ada kesempatan, aku pasti sempetin buat publish. Beberapa part juga mau aku tambahin sih.


Huhu, sedih deh. Baru bikin cerita udah adaaaa aja cobaannya.


Tunggu aku kembali ya temaaaaannn.]

Subete For You [KTH-KJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang