04.

2K 326 1
                                    

Sarapan. Adalah salah satu hal yang paling aku benci. Pasalnya, di atas meja makan besar ini aku dipaksa menjadi gadis baik-baik yang sopan dan patuh kepada orangtua.

Setidaknya satu jam tiga puluh menit dalam sehari aku terpaksa menjaga sikap dan menahan bokongku untuk tidak segera beranjak dari tempat terkutuk itu. Apalagi saat ayahku mulai bicara omong kosong hanya demi mendikte semua tingkah lakuku.

"Semalam kau pergi kemana?" pertanyaan ayah muncul sesuai dugaanku. Aku berusaha tetap tenang meski aku ingin sekali kabur.

"Menemui teman," tukasku datar, dengan nada yang kubuat semanis mungkin supaya tidak di kritik.

"Kenapa kau tidak datang pada acara minum teh bersama keluarga Seok Jin? Kau tahu semalam dia cemas mencarimu," tambah pria paruh baya itu.

"Maaf," hanya itu kalimat yang dapat kuucapkan.

Sebenarnya aku punya jutaan ucapan pembangkangan yang bisa saja saat ini kuutarakan. Tapi, aku jadi mengingat kebebasanku. Aku tidak mau lagi di kurung dalam paviliun selama seminggu seperti saat aku menumpahkan cangkir dalam jamuan minum teh bersama kolega ayah saat usiaku sepuluh tahun.

Kulirik ayah yang sedang memotong sayurannya dengan angkuh, kemudian dia menghela pelan seolah aku ini pembuat masalah baginya, "lain kali aku tidak ingin kau absen lagi. Ayah tidak mau membuat alasan demi menutupi kesalahanmu. Kau mengerti?"

"Ya, ayah."

"Kenapa lenganmu terluka?" kini ibu mulai masuk untuk menambah diskriminasi.

Segera kuturunkan sikuku dari atas meja untuk menghindari tuntutan ayah yang pasti akan rumit.

"Aku ... terjatuh," jawabku lambat-lambat.

"Sayang sekali. Kau sangat ceroboh."

Biarlah apa katanya. Sekalipun aku bicara jujur, aku tidak akan mendapat apapun dari aksi heroikku menolong anak kecil yang nyaris tertabrak sepedah. Yang mereka tuntut hanyalah, aku harus menjaga citra diriku serta nama besar ayahku. Aku heran, apa aku harus turut andil dalam semua kefana-an ini?

"Maaf, bu."

Tiga puluh menit, ugh .. rasanya sangat mencekik. Bahkan aku selalu tidak punya napsu makan setiap kali berada diatas meja makan.

Setelah sarapan selesai, mengantar ayah sampai beranda untuk berangkat kerja, aku segera masuk ke kamar.

Menghenyakkan diri di sofa, aku menatap ke langit-langit sambil menghela napas panjang. Seklebat bayangan pemuda yang semalam sempat membuat perasaanku terombang-ambing karena kepribadiannya yang tidak aku mengerti muncul.

Sangat jelas saat bagaimana dia memperlakukanku dengan dingin, lalu kemudian di penghujung pertemuan dia berbicara sangat manis hingga aku dapat leluasa melihat ketampanannya yang sebenarnya.

Lamunanku harus pecah saat tiba-tiba aku mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Buru-uru aku memperbaiki posisi dudukku ketika kulihat ibu tengah berjalan ke arahku.

Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya membawa dirinya berkeliling kamarku. Memeriksa meja belajarku, entah apa yang sedang ia cari, sampai kemudian dia berdiri tegap di depanku.

"Ayahmu memintaku untuk memastikan kau tidak absen lagi dalam setiap pertemuan yang sudah dibuat. Kau tahu setiap pertemuan itu penting bagi ayahmu, bukan?" Ibu kembali melirik sekeliling kamarku, kemudian dia melanjutkan seraya jemarinya menyapu deretan catatanku di atas meja, "kau tahu beliau butuh banyak dukungan jika ingin masuk ke gedung biru, bukan? Jadi aku harap kau mau bekerja sama meski tidak banyak membantu."

Aku berdecih dalam hati.

Lihat bagaimana kalian merendahkanku? Dengan begitu kalian masih mau imbal baik yang besar dariku?

"Kau mengerti, Jennie?"

"Iya, bu," jawabku pelan.

Kini ibu menatapku lekat-lekat. Entah apa yang membuatnya sangat tertarik padaku daripada hari-hari sebelumnya. Aku tidak berani membalas tatapannya atau aku akan mendapat hukum kedisiplinan lagi.

"Aku harap semalam adalah terakhir kali kau pergi bersama pemuda yang tidak jelas asal-usulnya."

Mataku melebar. Satu kebodohanku yang sangat disayangkan adalah, aku lupa jika sekeliling rumah ini terdapat kamera pengawas. Termasuk bagian kuar gerbang rumahku.

Oh, bodohnya aku yang telah memasukkan diriku sendiri ke dalam neraka.

"Berhenti menemui orang yang tidak jelas kalau kau tidak mau ayahmu tahu."

Setelah memberi peringatan, ibu melangkah keluar. Aku baru dapat menghela napas ketika pintu tertutup seperti semula.

Oh ini bencana. Jika ibu tahu, cepat atau lambat ayah pasti akan tahu juga. Masalahnya akan lebih rumit dibanding kasus pembunuhan yang di tangani oleh detektif. []

Subete For You [KTH-KJN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang