I am Waiting for You

109 9 0
                                    

Kwon Soonyoung

Aku menunggu dengan harap-harap cemas di lobby workshop milik Midori. Sudah berapa bulan didirikan, namun ini kali pertama aku berkunjung. Seperti dugaanku. Bisnis yang dijalankan Midori memang tertata dengan rapi. Bahkan gedung tiga lantai yang sederhana ini bisa dirombak menjadi tempat yang manis dan elegan untuk workshop. Bahkan kudengar ia sudah membuka tiga kelas jenis kerajinan tangan yang berbeda. Muridnya pun mulai bertambah banyak.

"Berlatihlah dengan rajin," suara yang familiar di telingaku terdengar. Aku menoleh ke arah sumber suara. "Sebentar lagi kompetisi origami dunia akan dilaksanakan. Jangan lupa untuk melatih daya imajinasimu."

"Siap, guru," ucap dua orang siswa yang masih mengenakan seragam sekolah pada Midori.

Midori tersenyum. Ia tampak bangga dengan murid-muridnya. "Kalau begitu, hati-hati selama perjalanan pulang ya."

Aku menunggu hingga Midori selesai bercakap-cakap dengan dua gadis itu. Namun ketika aku akan berdiri untuk menyapanya, seorang pria bertubuh jangkung sudah lebih dulu menghampirinya. Midori tampak bercakap-cakap santai dengannya. Mereka berdua mengobrol dan berjalan bersisian melintasi ruangan dan menghilang di balik pintu bertuliskan "Staff Only".

Aku menghela napas kesal. Ini bukan waktunya untuk cemburu, Kwon Soonyoung. Aku harus bisa menahan diri. Sepertinya Midori belum benar-benar selesai bekerja. Aku kembali menyandarkan punggung pada sandaran kursi rotan dan menunggu gadis itu keluar.

Satu setengah bulan aku memikirkan percakapanku yang terjadi dengan Kim Mingyu. Persiapan promosi Seventeen di Jepang menyita sebagian besar waktuku. Namun, karena hal ini juga, aku kembali mendapatkan akal sehat yang entah kapan hilang. Aku jadi bisa membuka mata dan berpikir lebih rasional.

Aku bicara secara terus terang pada Ibu mengenai masalah percintaanku. Aku meminta maaf karena tidak bisa mengabulkan permintaannya untuk mengajak jalan-jalan sekeluarga ke Jepang. Bukan waktu yang tepat. Lagipula aku harus menyelesaikan masalahku dengan Midori terlebih dahulu. Untunglah ibu mengerti. Aku bahkan meminta agar ibu tidak memberitahukan hal ini pada Ayah. Aku takut Ayah akan merasa kecewa pada anak laki-lakinya ini.

Akhirnya, aku bisa menentukan pilihan hidupku. Sehari sebelum keberangkatanku ke Tokyo, aku membuat janji bertemu dengan Somi. Dalam kesempatan itu, aku berkata jujur mengenai perasaanku padanya. Tidak ada yang ditutupi. Gadis itu tercengang. Ia tidak bisa berhenti mengeluarkan air mata. Somi memilih untuk menjauh dariku. Aku merasa bersalah karena telah membuatnya menangis. Bagaimana pun dia adalah orang penting yang pernah mampir di kehidupanku. Ia mengajarkanku betapa berartinya perasaan cinta itu.

Aku menghargai keputusannya yang meminta untuk menjauh. Ia pasti sama sepertiku, butuh waktu untuk berpikir jernih. Namun, poin yang aku tekankan padanya adalah... aku tidak bisa kembali hidup bersamanya. Hatiku bukan miliknya lagi.

Disinilah aku sekarang. Tidak gentar dengan segala penolakan yang ditunjukkan oleh Midori terhadapku, aku mengirimkan pesan singkat yang berisi bahwa aku akan berkunjung ke workshop untuk menemuinya. Boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. Akhirnya aku nekat pergi kesini tanpa persetujuannya.

--

Tanaka Midori

"Kau membuatnya sebagai hadiah valentine?" tanyaku takjub pada Atsuhiko sambil menunjuk hasil karya wire art berbentuk hati.

"Bagus, kan?" tanya Atsuhiko meminta pendapatku.

"Yumiko pasti akan suka," ucapku menyebut nama kekasihnya. "Lagipula dia tipe orang yang tidak terlalu banyak permintaan. Ia menerima semua yang kau berikan padanya."

Atsuhiko membalas ucapanku dengan senyuman. "Kau sendiri tidak membuat kado valentine untuk kekasihmu?"

Aku tertawa kaku. Kekasih? Ya, kalau aku masih punya. Namun aku enggan menjawab pertanyaannya dan memilih membereskan semua peralatanku ke dalam tas. Bersiap untuk pulang.

"Malam ini kau yang piket kan?"

Atsuhiko mengangguk. "Ya, kau bisa pulang sekarang. Jangan lupa besok kau punya kelas pagi untuk para turis. Aku iri dengan kelas origami."

Ya, karena origami adalah kesenian tangan asal Jepang, point plus dari kelasku adalah dapat menarik para turis yang tertarik mempelajari kebudayaan Jepang. Cukup banyak turis yang belajar hanya untuk satu hari di kelasku. Walaupun begitu, aku senang karena itu berarti kesenian origami banyak memiliki penggemar dari luar negeri.

"Pastikan semua ruangan sudah terkunci dan listriknya mati sebelum kau pulang," ucapku pada Atsuhiko sambil menyandang tas di bahu. "Aku pulang dulu."

"Ya, hati-hati. Aku masih harus menunggu Ayumi dan Yoko menyelesaikan kelas mereka," balasnya.

Aku melambaikan tangan pada Atsuhiko sebelum keluar dari ruangan. Aku meregangkan kedua lengan ke atas, melakukan peregangan setelah lelah bekerja seharian. Bisnis ini berkembang dengan cukup pesat. Selain membuka kelas kursus, kami mulai menerima pesanan dalam skala besar. Sepertinya aku butuh beberapa orang lagi sebagai pekerja.

Pandanganku berhenti pada seseorang yang tampak sedang tertidur di kursi rotan lobby. Aku menelengkan kepala mengamatinya. Aku cukup mengenal para murid, bisa kupastikan bahwa ia bukanlah salah satunya. Atau mungkin ia orang yang akan menjemput salah satu murid?

Aku mengabaikannya dan berjalan menuju pintu keluar. Aku bersiul kecil menikmati sisa hari yang kupunya untuk bersenang-senang. Semenjak memutuskan pergi dari Soonyoung, aku berniat untuk menikmati hidupku kembali sebagai seorang wanita lajang.

---

"Kita butuh bicara. Aku tahu aku sudah berbuat salah padamu. Tapi izinkan aku bersikap egois sekali lagi pada hidupmu. Aku janji setelah kesempatan ini, aku tidak akan mengusik hidupmu lagi tanpa seizinmu. Aku akan menunggumu di kantor workshop."

Bodoh. Kwon Soonyoung, bodoh. Kenapa dia keras kepala sekali sih?

Aku berlari secepat yang aku bisa menembus keramaian jalan. Dipikiranku hanya ada satu. Soonyoung benar-benar menungguku di workshop.

Karena akhir-akhir ini aku memang sengaja mengabaikan Soonyoung, aku jadi membangun kebiasaan untuk tidak memeriksa ponsel. Aku bahkan tidak menyangka pria itu akan bertingkah senekat ini. Kebanyakan murid di workshop-ku adalah anak-anak muda yang tentunya mengenal Seventeen. Kenapa dia bisa ceroboh dan membiarkan dirinya terlihat di tempat umum, sih? menyusahkan saja.

Aku bahkan baru membuka pesannya setelah sampai di rumah. Akibatnya, aku langsung kembali berlari mengejar bus yang mengarah ke tempatku bekerja. Begitu turun di halte tujuan, aku langsung bergegas dan berlari menembus keramaian para pekerja yang baru pulang di malam hari.

Aku mengetuk-etukkan ujung sepatuku gemas sembari menunggu lampu penyebrang jalan berubah warna menjadi hijau. Orang kalau sedang dikejar waktu memang aneh. Menunggu 20 detik rasanya seperti menunggu 20 menit. Begitu lampu merah sudah berganti warna, aku menjadi deretan terdepan para penyebrang jalan. Aku kembali mengayunkan kaki, berlarian seperti orang gila menyusuri daerah perkantoran.

Tin Tin Tin!

Aku menoleh. Sebuah lampu dari mobil menyorotku tepat di muka. Sinarnya membuatku buta selama beberapa detik. Aku terjatuh.

[SVT FF Series] Teach Me How to Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang