Resolved

92 10 0
                                    

Kwon Soonyoung

Aku dan Midori duduk bersisian di sofa ruang tengah. Gadis itu sedang sibuk membaca dokumen di layar laptopnya. Aku sendiri memilih untuk menyimak acara masak yang sedang disiarkan di televisi.

Ugh, aku sudah berniat memberanikan diri untuk meminta maaf pada Midori. Namun entah kemana keberanian itu menghilang kini.

Aku beringsut mendekat pada Midori yang duduk di lantai beralaskan karpet tebal. Gadis itu melirikku sekilas, namun ia kembali memandangi baris demi baris kalimat yang tengah ia baca. Dia bahkan tidak terganggu oleh diriku yang mulai mengusiknya dengan mengetuk-etukkan pensil ke permukaan meja.

"Midori, aku mau bicara padamu," kataku pada akhirnya setelah beberapa lama.

Gadis itu kini menaruh seluruh perhatiannya padaku. Ia menjauhkan laptop dari hadapannya dan membenahi duduk silanya hingga menghadap ke arahku. Sepertinya Midori juga sudah menanti saat ini tiba, saat hingga aku membuka suara terlebih dahulu.

Seketika aku gugup karena dipandangi olehnya. Pandangan tajam, bukan pandangan menyenangkan.

"Hm, aku minta maaf atas perbuatanku tadi pagi," ucapku lancar. "Aku baru sadar bahwa tindakanku tadi sungguh membuatmu tidak nyaman. Maafkan aku."

Midori menarik napas panjang. Ia membuang pandangan ke arah lain. Kegugupanku makin meningkat.

"Kau tahu, aku paling tidak suka diatur seperti itu. Menurutku kau sudah bersikap berlebihan terhadapku padahal hubungan kami belum sejauh itu," ucapnya lirih. "Kau tahu? Aku tidak suka cara bicaramu tadi pagi."

"Maafkan aku. Aku sungguh menyesal." Entah sudah berapa banyak kata maaf yang keluar dari mulutku. Baru kali ini aku merasa sangat tidak enak hati.

"Entahlah, kurasa aku sudah terlalu nyaman selama ini hidup seorang diri tanpa membiarkan seseorang masuk ke dalam kehidupanku," Midori berkata sambil menerawang ke seberang ruangan. "Tidak ada yang mengekangku, tidak ada yang melarangku. Mungkin ini efek akibat menjadi seorang yang benar-benar independent. Aku tidak pernah benar-benar bergantung pada siapapun."

"Kau... tidak bermaksud untuk melepaskan hubungan ini, kan?" tanyaku takut-takut.

Midori menoleh padaku. Ia membalas tatapan mataku yang terkesan memohon. Sesungguhnya aku tidak siap jika ia berkata tidak. Oh no! Aku sudah terlalu bahagia mengetahui bahwa gadis di hadapanku ini sudah mulai membuka hatinya untukku. Hanya dengan rasa cemburu bodoh, aku bisa kehilangan Midori!

"Menurutmu bagaimana?"

Deg! Pertanyaan simpel. Namun karena ia mengucapkannya dengan nada dingin, rasanya aku ingin menangis saat ini juga. Midori memang gadis yang tidak bisa diprediksi. Ia bisa saja melakukan hal keji itu padaku saat ini.

"Aku... aku...," ucapku terbata tak tahu harus berkata apa. Aku menghela napas panjang. Sembari menunduk dan menautkan kesepuluh jari tanganku, aku melanjutkan. "Aku serahkan keputusan itu padamu. Aku tidak ingin memaksakan kehendakku."

"Hei, apa aku membuatmu takut?"

Aku mengangkat wajah. Midori mulai menunjukkan senyumannya. Raut wajahnya sedikit melunak.

"Ah... apa?" tanyaku pura-pura tidak mendengarnya.

"Apa aku membuatmu takut?" ulangnya lagi. "Baru kali ini aku mendapati dirimu benar-benar tidak berdaya di hadapanku. Apa aku sangat menyeramkan?"

"Eoh... aku... tidak mengerti." Blank. Otakku tidak bisa bekerja dengan baik.

Midori beringsut mendekat. Ia melebarkan kedua lengannya ke samping. Sambil menelengkan kepala, ia menunjukkan senyum miringnya padaku.

"Do you need my hug? Don't be scared. We are fine," ucapnya. Tanpa nada dingin seperti tadi.

Huuaaa, aku lega sekali. Tanpa pikir panjang, aku langsung melemparkan diri pada pelukan yang ditawarkan Midori. Aku balas memeluk tubuh mungilnya erat-erat. Tak sanggup kehilangan.

"Maafkan aku. Jangan marah lagi ya," bujukku sambil terus mengelus rambut halusnya.

"Tergantung," jawabnya. "Tergantung seberapa besar kau menguji kesabaranku."

Aku tidak menjawabnya. Setengah frustasi aku tetap memerangkap tubuh mungilnya penuh kasih sayang. Rasanya aku bisa nangis sekarang jika  mengingat wajah kaku dan nada dingin yang dilontarkan Midori padaku tadi.

"Hei, apa kau benar-benar takut?" tanya Midori.

Terdengar nada khawatir dalam suaranya. Gadis itu memaksa untuk menjauhkan tubuhku. Tapi aku kukuh tak bergeming. Aku tidak mau dia melihatku.

"Stay. Just stay. Biarkan aku begini sebentar lagi," ucapku.

Midori diam. Akhirnya ia menurut dan kembali mengelus punggungku.

Lama kami berpelukan seperti ini. Aku menyandarkan kepala di bahunya. Midori juga tetap memberikan tepukan ringan, sesekali ia mengelus punggungku. Kemudian, entah bagaimana, aku jatuh tertidur.

--

Tanaka Midori

Aku berhenti mengelusnya ketika kudengar dengkuran tipis dari Soonyoung. Aku meliriknya sebentar. Ya ampun Soonyoung benar-benar sudah tertidur. Aku jadi tidak berani bergerak sedikit pun karena takut membangunkannya.

Lima belas menit aku mencoba bertahan. Pegelll. Akhirnya aku beringsut sedikit demi sedikit dan menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Soonyoung menggeliat pelan, namun ia tetap mengaitkan kedua lengannya pada tubuhku.

"Ssshhh... Ssshhh..," aku berbisik kecil agar dirinya tidak bangun. Berhasil. Soonyoung kembali jatuh dalam posisi terlelapnya.

Aku memainkan rambutnya pelan. Halus dan tebal. Bahkan tercium aroma wangi sampo bayi. Yup, aku ingat kalau dirinya sedang memakai produk itu karena memiliki masalah akibat berganti-ganti warna rambut.

Melihat Soonyoung gampang jatuh tertidur seperti ini, aku jadi sedikit lebih tahu tentang bagaimana lelahnya ia bekerja. Apalagi ia kini mulai banyak ambil pekerjaan individu dalam acara variety show. Apalagi Seventeen resmi debut di tiga negara, Korea, Jepang, dan China. Aku bahkan tidak membayangkan bagaimana ia bisa mempertahankan kesehatannya.

Aku jadi merasa bersalah. Sepertinya aku bersikap berlebihan padanya.

"Hmm...," Soonyoung mengulet. Ia membuka matanya perlahan. Pandangan mata kami bertemu.

"Sudah bangun?" sapaku.

"Aku tidur?" tanyanya bingung. Ia mengangkat kepalanya dari bahuku dan melepaskan pelukannya. Dengan wajah lucu, ia mengucek kedua matanya dengan tangan.

Aku mengangguk. "Sekitar setengah jam."

"Wah, lama sekali," serunya kaget.

"Tak apa. Toh ini hari liburmu, kau bebas menggunakannya untuk istirahat," kataku menenangkan.

Soonyoung menatapku diam. Pandangan matanya menembusku. Aku sampai risih dibuatnya.

"Okay!" serunya tiba-tiba sambil bangkit berdiri. "Ayo, kita melakukan hal asyik bersama. Kau mau jalan? Atau sesuai rencana awal, bermalas-malasan di rumah?"

Aku meringis. "Aku tidak ingin membuat keributan dengan jalan berdua saja denganmu. Banyak penduduk Tokyo yang mengenal Kwon Hoshi."

"Kalau begitu, kau mau melakukan apa?" tanyanya lagi.

"Terserah kau saja."

"Main Playstation?" tawarnya dengan pandangan berseri-seri. "Aku membawa semua peralatan bermain dari dorm Seventeen di dalam tas."

Kedua mataku membulat mendengar penuturannya. Pantas saja dia membawa tas besar padahal hanya akan bermain selama satu hari. Aku tidak bisa membayangkan para member di asrama yang berteriak kesal karena mainan mereka menghilang tiba-tiba.

[SVT FF Series] Teach Me How to Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang