Back to Tokyo

96 10 0
                                    

Kwon Soonyoung

Aku memasukkan baju terakhir ke dalam koper. Memang pada dasarnya aku tidak terlalu banyak membawa barang. Setelah memastikan bahwa semua benda milikku tidak ada yang tertinggal, aku menumpuk tas ransel dan koper di ujung tangga teratas agar lebih mudah untuk membawanya saat akan pergi nanti.

"Kakak sudah selesai berkemas?" tanya Keisuke padaku.

Aku menoleh. Anak kecil berumur lima belas tahun itu menatap perlengkapanku yang sudah rapi semua.

Aku mengangguk kecil. "Dua jam lagi aku akan berangkat ke Tokyo menggunakan kereta."

Keisuke kini menatapku dari balik lensa kacamata berframe tebal miliknya. "Sebentar sekali Kakak main disini. Kapan-kapan kau harus kembali kemari."

Aku terkekeh kecil. Kuacak-acak rambut tebal milik Keisuke saking gemasnya. "Baiklah. Doakan saja pekerjaanku lancar. Jadi aku punya banyak uang untuk jalan-jalan ke Jepang lebih sering."

Ditengah percakapanku dengan Keisuke, Takuo muncul dari lantai satu. Aku memandang adik pertama Midori itu dengan tatapan bingung. Sejujurnya, aku masih merasa sedikit takut dengannya, walaupun Takuo terlihat sudah lebih hangat padaku setelah menghabiskan empat malam tidur bersama dalam satu kamar.

"Butuh bantuan untuk membawa koper ke bawah?" tanyanya padaku dengan nada datar.

"Tidak perlu. Aku bisa sendiri," jawabku cepat.

Takuo mengangguk kecil. "Kalau begitu, cepatlah sedikit. Kakak sudah menunggumu di bawah."

"Midori?" tanyaku heran. Pasalnya, setahuku sepulang dari pasar dan berolahraga pagi bersama, gadis itu langsung bersiap-siap membuka toko seperti biasa.

Tak ingin membuat gadis itu menunggu lebih lama, akhirnya aku mengikuti langkah Takuo menuruni tangga dengan membawa koper sekaligus tas ransel. Benar saja, Midori sedang sibuk di dapur rumahnya. Gadis itu masih mengenakan pakaian seragam dengan nama restoran udon miliknya tercetak jelas.

Midori menoleh ke belakang ketika mendengar panggilan Takuo. Pandanganku bertemu dengan bola mata cokelat miliknya. Melihatku yang sudah siap, lengkap dengan koper dan tas ransel, gadis itu bergegas mencuci dan mengelap kedua tangannya yang kotor.

"Aku akan mengantarmu," Midori bicara sambil melihatku sekilas. "Tunggu sebentar ya. Aku akan siap-siap."

Sebelum aku sempat menjawab, Midori sudah menghilang di balik pintu kamarnya. Aku jadi tidak enak hati karena membuatnya repot. Kemarin saja ia sudah tidak membantu bekerja, masa hari ini juga.

Aku memilih duduk di sofa ruang tengah, duduk bergabung bersama Takuo yang sedari tadi pura-pura menonton televisi. Aku tahu, walaupun kedua matanya menatap ke depan, namun telinga anak itu mendengar dengan awas tiap detail percakapanku dengan Midori.

"Hei," panggil Takuo.

Ya, anak ini memang tidak pernah sopan padaku.

"Iya?" ucapku menanggapi.

"Kau yakin bisa menjaga perasaan kakakku?" tanyanya. Kali ini ia bicara dengan nada serius.

Aku menoleh. Kudapati dirinya sedang menatapku dalam-dalam. Wah, bahkan Takuo lebih protektif daripada sang ayah terhadap Midori.

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut bocah remaja seperti Takuo, membuatku kembali memikirkan ulang perkataannya. Kok, rasanya ada yang salah ya? Aku memang telah menyatakan perasaanku pada Midori, namun gadis itu belum membahasnya hingga kini. Bahkan Midori terlihat biasa saja saat bertatap muka lagi denganku di pagi harinya.

"Aku akan berusaha keras untuk menjaga setiap ucapanku semalam," jawabku pada akhirnya. Ya, semalam aku dan Takuo bicara panjang-lebar perihal perasaanku pada kakak perempuannya itu.

"Kau tahu siapa orang yang pertama kali akan kau hadapi jika kau membuat kakakku menangis," ancamnya.

Aku tersenyum simpul. "Ya, kau boleh menghajarku jika hal itu terjadi."

"Okay, aku sudah siap."

Suara Midori menghentikan percakapanku bersama Takuo. Gadis itu berdiri dengan penampilan yang jauh berbeda dengan pakaian seragam kerjanya tadi.

Midori memakai baju rajut bahan katun berwarna krem, dipadukan dengan kardigan berwarna cokelat muda. Ia memilih menggunakan celana jeans berwarna biru gelap. Bahkan hair stylenya berbeda. Ia membuat kepangan kecil di rambutnya dan 'memakainya' sebagai bando. Walaupun ia selalu terlihat manis dengan rambut pendek sebahunya, namun gayanya yang sekarang juga mampu membuatku terpukau. Midori bahkan tampak memakai lipstick dan blush on, hal yang tidak biasa ia lakukan.

Secara keseluruhan, Midori tampak sangat memukau. Penampilannya sederhana, namun enak dipandang. Eh, gimana ya mendeskripsikannya? Yah, intinya aku suka. Aku bahkan heran gadis itu bisa bertransformasi seperti itu hanya dalam waktu sepuluh menit.

"Kakak kayak mau pergi kencan saja dengan Kak Soonyoung."

Aku dan Midori sama-sama terdiam. Kami hanya dapat saling tatap tanpa banyak bicara.

Seketika aku baru sadar. Outfit yang aku kenakan memiliki warna serupa dengan yang dikenakan Midori. Aku memakai sweater tipis berwarna krem dan celana jeans biru navy.

"Ah, maaf. Kalau begitu aku ganti baju lagi saja," ucap Midori menyadari kesamaan pakaian kami. Ia bahkan sudah bergerak akan kembali masuk ke dalam kamarnya.

"Tidak perlu, Midori," cegahku.

Bodoh, Soonyoung! rutukku dalam hati. Kenapa aku tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa aku senang karena penampilan kita sama. Kan jadi bisa dikira couple, hehe. Selain itu, Midori sudah cantik, aku tidak mau gadis itu berubah penampilannya. Yah, walaupun sebenarnya ia cocok memakai semua jenis pakaian, menurutku.

"Tidak apa? benar nih?" tanya Midori ragu sambil memperhatikan penampilannya dari pantulan cermin.

Aku mengangguk mantap. "Kau terlihat cantik. Jangan dandan lagi."

Lho kok? Aku tanpa sadar malah terdengar seperti sedang menggodanya. Namun aku mau tak mau ikut tersenyum ketika menyadari semburat merah jambu di kedua pipinya.

"Kalian ini menggelikan," suara Takuo menarik perhatian kami. Anak itu hanya geleng-geleng kepala melihat ke arah aku dan Midori bergantian. "Sudah sana, cepat pergi. Jangan sampai Kak Soonyoung terlambat."

"Ah, aku juga harus berpamitan dulu dengan ayah dan ibumu," ucapku tersadar.

"Kalau begitu, kami pergi dulu ya," pamit Midori pada adiknya.

Kulihat ia mendaratkan ciuman ringan di puncak kepala Takuo sebagai salam perpisahan. Takuo langsung mengusapnya sambil memberikan tatapan tidak suka pada Midori. Tentu saja bocah itu tidak senang. Ia kan sudah berumur tujuh belas tahun, pasti Takuo kesal dan malu karena masih diperlakukan seperti anak kecil.

Kalau aku sih mau-mau saja. Kapan lagi bisa dicium Midori? Haha.

--

Tanaka Midori

Aku fokus menyetir mobil menuju stasiun kereta shinkansen yang akan membawa Soonyoung kembali ke Tokyo. Awalnya aku ingin menemani pria itu ke stasiun menggunakan kendaraan umum. Namun saat Soonyoung berpamitan pada ayah dan ibu di restoran, mereka memaksaku bersikeras mengantarnya menggunakan mobil. Katanya sih karena siang hari seperti ini pasti banyak orang yang akan mengenalinya, selain itu Soonyoung juga membawa koper yang pasti akan merepotkannya jika naik kendaraan umum.

Jadinya aku dan Soonyoung terjebak di dalam mobil berdua saja. Sedari tadi tidak ada yang bersuara diantara kami. Kejadian semalam membuatku kikuk. Seketika aku menyesal karena tidak mengajak salah satu adikku untuk ikut menemani.

"Maafkan aku, kau jadi repot harus mengantarku sampai ke stasiun besar," ucap Soonyoung membuka percakapan.

Aku menoleh ke arahnya sekilas sebelum kembali melihat ke arah jalanan di depan. "Tidak apa-apa. Ini pun tugasku sebagai tuan rumah dan temanmu."

Ops, apa aku salah bicara? Sepertinya kata teman membuat pria di sampingku ini terluka. Argh, Midori bodoh! Semoga dia tidak beranggapan bahwa aku sudah menolak pernyataan cintanya kemarin malam.

[SVT FF Series] Teach Me How to Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang