Chap8. Penyelamat

138 70 38
                                    

Dibanding gue liat Lo sedih, gue lebih baik ngeliat Lo bahagia meski bukan gue alasan Lo bahagia-,
-Rava


Suasana dekat mading semakin memanas, dikala ada seorang remaja laki-laki menghampiri Rahel.

"Lo gak usah dengerin mereka, Sya."

"Mereka semua gak tahu seperti apa kebenaran nya."

Rava berbisik ditelinga Rahel dengan kedua tangannya menutupi pendengaran gadis itu.

"Gue tau Lo kuat."

Rahel semakin terisak mendengar ucapan Rava.

"Hikkss.. hikkss.."

"Rava?"

Lirih Rahel seraya terisak.

"Hikkss.. hikkss.. hikss."

Laki-laki itu dapat merasakan tangannya yang semakin basah. Rava yakin itu akibat air mata Rahel yang terus mengalir dipipi manis gadis itu.

"SHITT!!"

"PERGI LO SEMUA BEDEBAH!!!"

Amuk Rava menatap mereka semua dengan kebencian.

Akhirnya, satu persatu dari mereka semua meninggalkan Rahel maupun Rava didepan mading.

'Kenapa sih Rava kayanya hobi banget nolong Rahel?'

'Kalau bukan Rava yang suruh gue gak bakalan pergi'

Bisikan itu masih dapat terdengar, meski mereka semua mulai menjauh dari Rava dan Rahel.

Rava mulai menurunkan tangannya dari telinga gadis itu. Kemudian dia berjalan menuju papan mading dan merobek semua foto-foto yang tertempel disitu.

Rahang Rava mengeras serta tangannya sudah mengepal kuat. Emosinya suda berada dipuncak kepala. Rava menggeram marah dan meninjukan kepalan tangannya pada papan mading.

"ARGHHH..!!!!!"

"SHITTT!!!"

Rava bingung siapa yang harus laki-laki itu beri pelajaran. Dia ingin marah tapi bingung harus marah pada siapa. Laki-laki itu pun tak tahu siapa pelaku dibalik semua masalah menjijikkan ini. Rava sungguh muak, ia tak henti-hentinya untuk terus mengumpat.

"Rava?"

"Bawa aku pergi."

Lirih Rahel dengan mata sayu.

Gadis itu sudah berhenti menangis. Air matanya sudah terkuras habis.

Mata itu yang selalu memberikan ketenangan bagi Rava seketika menjadi sebuah tatapan kosong dan dipenuhi sorot kesedihan didalam sana. Bibirnya yang selalu mengumbar senyum dan sangat cerewet sekarang hanyalah bibir pucat pasi dengan kebungkamannya.

Rava benci melihat Rahel seperti ini. Dia lebih baik melihat gadis itu tersenyum meski bukan dia alasannya tersenyum.

Rava memejamkan matanya menyalurkan semua kemarahan yang bergejolak dihatinya.

Laki-laki itu mendekati Rahel dan menuntunnya begitu lembut menuju taman sekolah. Letak taman itu berada dibelakang sekolah sehingga sangat nyaman bagi seseorang yang ingin menyendiri. Untuk saat ini gadis itu membutuhkan ketenangan. Ya mungkin itu yang ia butuhkan.

Bukankah dia terlihat sangat menyedihkan?

Sekarang mereka sedang duduk dikursi taman. Disisinya berdiri dua pohon tak terlalu tinggi tapi masih dapat melindungi mereka dari teriknya sang surya.

"Rava."

"Kenapa?"

Rahel sedikit memberi jeda dan mengatur nafasnya yang terasa begitu menyesakkan.

"Terimakasih untuk semuanya."

"Lo ga usah bilang kaya gitu, Sya. Itu udah kewajiban gue buat jaga Lo."

Rahel tersenyum manis membalas jawaban Rava.

"Jadi, kalian adik kakak?"

Rava menatap Rahel yang ada disampingnya kemudian menarik dagu gadis itu agar menatap manik matanya.

"Rava?!"

Panggil seseorang tepat berada dibelakang mereka duduk.

Laki-laki itu melepaskan tangannya dari dagu Rahel. Rava tak ingin jika rumor yang tersebar itu semakin menjadi-jadi. Itu akan membuatnya semakin muak.

"Kenapa Cha?"

Tanya laki-laki itu dikala Chaca sudah berada didepan mereka.

"Emm.. i-itu Rav, kamu dipanggil Pak Edwi ke ruangannya."

Ucap Chaca sedikit terengah-engah.

"Katanya buat persiapan per--"

"Oh, ya udah gue ke sana dulu Sya."

"Lo gak apa kan gue tinggal?"

Rava menatap manik mata Rahel yang ternyata juga sedang menatapnya. Gadis itu hanya menganggukkan kepala dan tersenyum sebagai jawaban.

"Gue titip Rahel sama Lo Cha."

"Ok Rav."

Rava berdiri dari tempatnya kemudian mengelus acak rambut milik Rahel.

"Jangan pernah nangis lagi hmm.."

Chaca hanya tersenyum getir melihat kedekatan mereka berdua.

Bagaimana tidak? Orang yang selama ini selalu ia kagumi ralat mungkin sangat ia cinta begitu  menyayangi dan mencintai sahabatnya. Apalah dia dimata Rava, ia hanya sebuah angin lewat yang kasat mata. Tak akan pernah terlihat atau bahkan kehadirannya pun tidak dianggap ada oleh laki-laki didepannya. Menyedihkan memang.

"Cha?!"

Aahh.. rupanya sedari tadi ia melamun, pikir Chaca.

"Eh maaf, kenapa Sya?"

"Sini duduk, ngelamun mulu."

"Emang kamu gak cape berdiri terus? Entar kaki kamu yang ramping bisa bengkak loh."

Pasalnya Chaca memang memiliki tubuh yang bisa dibilang pendek tetapi memiliki kaki yang ramping. Tidak seperti kebanyakan gadis pendek lainnya.

*Wkwkwk.. maaf ya buat para readers yang tersinggung:)

"Iiiih apaan sih Sya."

Ucap Chaca mempoutkan bibirnya kemudian duduk disamping Rahel.

White Lilies & Phobias (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang