Chap.17 Bunga Lili

71 14 6
                                    

Jarak itu sebenarnya tak ada, jika bukan kita sendiri yang membuatnya-,
-Author


Terlihat seorang wanita paruh baya begitu sibuk membersihkan kamar anaknya yang dipenuhi debu.

Gadis itu tersenyum kecil kemudian meletakan bingkisan buah yang ia bawa pada king size milik Rava.

"Assalamualaikum ma. "

"Waalaikumsalam."


"Ya ampun, Rahel?!" Ujar Tania sedikit kaget.

"Kemana aja? Udah lama Mama ga ketemu kamu."

Pasalnya, memang sudah lama gadis itu tidak pernah berkunjung lagi ke rumah Rava. Mungkin, terakhir kali ia melihat Rahel sekitar beberapa minggu yang lalu, tepatnya ketika Diana meninggal.

"Gimana kabarnya sehat?"

Lanjut Tania seraya memeluk sayang tubuh Rahel dan dengan senang hati gadis didepannya menerima pelukan wanita paruh baya itu.

"Heheee iya... Alhamdulilah sehat Ma."

Semenjak Mamanya meninggal dunia, saat itulah Rahel selalu memanggil Tania dengan sebutan Mama. Menurutnya, Diana maupun Tania memiliki banyak sekali persamaan. Rahel sendiri selalu merasa dapat melihat sosok Mamanya dalam jiwa Mama Rava. Entah itu mungkin hanyalah sebuah ilusi ataupun sekedar penglihatannya saja.

Tania melepaskan pelukannya pada Rahel kemudian merangkul pundak gadis itu dan menuntunnya agar duduk ditempat tidur milik Rava.

"Rahel mau minum apa? Biar Mama buatkan sekarang ya."

"Eh gak usah Ma."

"Rahel cuma mau ngembaliin sweeter milik Rava yang pernah dipinjemin waktu itu."

"Kebetulan, mau sekalian jenguk Rava juga Ma."

Lanjut gadis itu menjawab tatapan Tania yang seakan bertanya. Tak lupa dia juga memberikan tas jinjing yang berisikan sweeter abu didalamnya.

"Oh ya udah, kalau gitu nanti Mama sampaikan sama Rava lewat telepon."

Wanita paruh baya itu menerima tas jinjing yang diberikan Rahel kemudian menyimpannya dilemari milik Rava.

"Emang Ravanya kemana Ma?"

***

Sudah mati-matian Rahel menahan air matanya agar tak menangis dihadapan Tania. Dia tak ingin membuat wanita paruh baya itu bersedih dan merasa bersalah.

"Hikksa.. Hikksss.. "

Tetap saja, gadis itu keluar dari kamar Rava dengan tangisan yang sudah tak dapat terbendung. Semua perkataan tadi masih tersimpan jelas ditelinga dan kepala gadis itu.


Hingga akhirnya..

Tatapan mata mereka saling mengunci satu sama lain. Tak ada yang ingin memulai pembicaraan, bahkan untuk sekedar menyapa pun tidak sama sekali.

"Hikkss.. hikkss.."

Kedua tangan Rahel menyeka air matanya yang terus mengalir. Lelaki didepannya hanya mengangkat sebelah alis dengan memasang wajah datar.

Rahel yang melihat raut ketidaksukaan diwajah Sean menundukkan kepala menatap ubin dilantai.

Kakinya mulai melangkah melewati Sean. Meninggalkan laki-laki itu yang masih berdiri ditempat yang sama.

White Lilies & Phobias (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang