Believe Me 13 #Pertengkaran (1)

12 0 0
                                    


Dia menatapku dengan tajam untuk pertama kalinya dan aku tak suka ketika dia menatapku seperti itu.

^.^

Aku melambaikan tanganku sambil tersenyum pada Tito yang baru saja menjalankan motornya menjauhi rumahku. Aku masih berdiri di depan gerbang, menatap motor Tito yang semakin menjauh dari penglihatanku. Setelah sosok Tito menghilang, senyumanku luntur.

Aku menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam rumahku.

Keningku mengernyit ketika membuka gerbang yang tidak terkunci, seingatku tadi pagi aku mengunci gerbang. Berhubung tak ada siapapun di dalam rumah, mama dan papa pergi ke Surabaya dan adikku sedang keluar kota. Dan hal yang sama pun terjadi pada pintu rumahku, tidak terkunci. Sepertinya adikku sudah pulang dari luar kota.

"Bagus ya jam segini baru pulang. Nggak usah pulang aja sekalian."

Aku terperanjat ketika tiba – tiba mendengar suara berat yang aku kenal. Aku menolehkan kepalaku pada sumber suara dan mendapati Ravi yang duduk dengan menopang kaki dan tangan yang bersidekap.

"Astagfirullah, Ravi kamu ngagetin aku." Ucapku sambil mengelus dadaku.

Sekarang aku tahu penyebab dari gerbang dan pintu yang tidak terkunci. Ternyata Ravi yang masuk kedalam rumahku dan bukan adikku. Ravi memang mempunyai kunci cadangan rumahku dan kunci cadangan itu Ravi dapatkan dari orang tuaku. Ya, sepercaya itulah kedua orang tuaku pada Ravi.

Ravi bangun dari duduknya dan berjalan menghampiriku dengan perlahan. Aura yang dikeluarkan Ravi begitu mencekam, dia menatap diriku dengan tatapan tajamnya dan hal itu membuatku sedikit takut.

"Dari mana aja kamu?" Tanyanya ketika sudah berada tepat di depanku.

"Dari BIP." Jawabku pelan.

"Sama siapa?" Tanyanya lagi.

"Sama si Tayo."

"Ngapain aja?"

"Shalat magrib......"

"Ke BIP Cuma Shalat magrib doang? Di rumah juga bisa." Ucapnya memotong pembicaraanku. Aku menghembuskan napasku pelan, mencoba mengatur emosiku. Sepertinya Ravi sedang dalam mood yang jelak dan aku harus bisa menahan emosiku juga.

"Nggak Cuma Shalat Ravi, aku main di game center juga." Jelasku dengan pelan.

Ravi menaikkan sebelah alisnya "Kamu nggak suka game." Ucapnya menekankan setiap katanya. Lalu dia menatap kantung kresek yang aku bawa "Apa ini?" Tanyanya dan meraih kantung kresek yang aku bawa.

"Boneka?"

"Itu dari si Tayo."

Ravi tersenyum sinis lalu melempar boneka itu ke kursi "Ini terakhir kalinya kamu pulang malem. Lain kali aku nggak akan biarin kamu pulang malem lagi, sama siapapun itu. kecuali sama aku." lugas Ravi.

Entah mengapa kali ini aku merasa kesal pada Ravi yang seolah mengatur diriku. Apa haknya mengatur diriku? Bahkan selama seminggu ini dia mengabaikanku dan sekarang dia berperan seperti seorang ayah yang berhak mengatur anak gadisnya.

Aku memberanikan diriku untuk menatap matanya, meskipun ada rasa takut ketika mata itu menatapku dengan tajam seolah hal itu bisa menyakitiku.

"Kenapa? Kamu siapa aku sampai berani ngatur aku?" Ucapku padanya.

BELIEVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang