Believe Me 4 #Sabtu Malam

11 1 0
                                    

Kemarahannya adalah hal terakhir yang ingin aku lihat. Tapi aku membuatnya marah padaku dan aku tak tahu apa yang harus aku lakukan.

                            ^.^

Ravi ‘Salawasna’

Sorry, aku ngga bisa kesana.
Bunda telfon aku dan minta aku untuk pulang ke rumah bunda. Maaf banget ya..

Sebagai gantinya nanti aku luangkan waktuku seharian untukmu. Oke?

Kecewa, itu yg pertama kali aku rasakan ketika membaca pesannya. Tapi mau bagaimana lagi? yang bisa aku lakukan saat ini hanya menerima keputusannya dan mengerti posisinya. Jika dipikir lagi Ravi nemang tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Jika sewaktu SMK dia ngekost, sekarang setelah bekerja dia tinggal di apartment. Jadi wajar bukan jika Bundanya meminta Ravi untuk pulang? pasti Bundanya merindukan anak lelaki satu – satunya itu.

Jangan egois Ara

Kemudian jariku mengetikkan balasan padanya.

Oke
A

ku tunggu janjimu hehe


Aku menyimpan ponselku ketika sudah membalas pesannya. Kemudian aku menyeruput coklat kesukaanku yang sudah aku pesan tadi. Menyandarkan diriku pada sandaran kursi dan memperhatikan setiap orang yang ada di café ini. Our cafe, tempat favoritku bersama Ravi. Aku selalu meluangkan waktu di sabtu malam untuk datang ke sini, membicarakan banyak hal selama berjam – jam hingga lupa waktu dan Sekarang aku tak tahu harus apa.

Untunglah aku ingat tadi aku membawa buku novel yang baru kubeli minggu kemarin dan belum sempat aku baca. Jadi malam ini aku akan ditemani oleh buku novel itu. Aku sudah terlarut dalam cerita bahkan ketika aku baru membaca bab pertama.

Entah sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk membaca. Karena aku tak menatap jam sama sekali, terlalu larut dalam kisah pelik dalam novel. Masuk kedalam duniaku sendiri dan tak mempedulikan sekitarku. Hingga akhirya aku mendengar seseorang memanggil namaku.

"Adara!!"
Aku mendongakkan kepalaku dan mendapati Teh Alana yang sedang berjalan kearahku dan di sebelahnya ada A Devdan yang dengan posesif merangkul teh Alana. Aku berdiri dari dudukku dan bercipika cipiki dengan Teh Alana seperti kebiasaanku jika bertemu dengan teman wanita, sedangkan pada A Devdan aku hanya bersalaman biasa sambil tersenyum.

"Sendirian?" tanya Teh Alana sambil menatap meja yang aku tempati.

"Iya." jawabku mengangguk.

"Tumben." Ucap Teh Alana dan duduk di depanku, kemudian Teh Alana menatap A Devdan "Aku disini ya, sama Adara." A Devdan menganggukkan kepalanya.

"Aku di tempat biasa." Ucap A Devdan dan berlalu setelah memberikan senyuman singkat padaku.

"Vindranya mana? Biasa juga berduaan kalian mah."

Aku terkekeh pelan mendengar ucapan Teh Alana "Dia pulang kerumah bundanya." jawabku. Teh alana hanya memanggutkan kepalanya mengerti.

Kemudian seorang waiters datang kemeja kami dan menaruh minuman untuk Teh Alana dan beberapa makanan disana. Tak heran, ini pasti A Devdan yang memesan karena sebelumnya teh Alana tak memesan apapun. Yah akupun sudah terbiasa dengan hal ini.

"Terima kasih." Ucap Teh Alana ramah pada waiters yang mengantarkan makannya "Ayo, dimakan Ra."

Satu menit berlalu dengan aku dan Teh Alana yang saling terdiam menikmati makanan yang ada di meja. Lalu mataku tak sengaja melirik sebuah cincin tersemat di jari manis kiri teh Alana.

BELIEVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang