j

1K 153 28
                                    

"Kalau itu masih sakit, langsung istirahat saja."

"Iya, Papa." Kyuhyun membuka pintu mobi. Bersiap keluar saat papa kembali bicara. "Apa tidak sebaiknya teman-temanmu disuruh pulang saja?"

Alih-alih turun Kyuhyun malah menyandarkan diri. Garis bibirnya datar. Papa Cho sadar telah salah ucap. "Papa hanya ingin kau baik-baik saja."

"Maka percaya padaku, Pa. Ini tubuhku. Aku tahu batasku. Apa selama ini aku pernah menyembunyikan sakitku? Pernah aku membohongi Papa?"

Papa Cho menunduk. Kyuhyun menghela napas kasar.

"Aku tidak suka," mendengar itu papa mengangkat kepalanya, menatap Kyuhyun. "Papa selalu begini setiap kali mendapatkan result check up-ku. Aku tahu Papa ketakutan. Aku juga sama, Pa. Aku takut meninggalkan Papa yang seperti ini."

"Kyuhyunie,"

Kyuhyun menunduk. Membiarkan air mata jatuh, tidak peduli jika papa melihatnya. Dia juga lelah jika papa ingin tahu. Dia lebih lelah melihat papa lebih berputus asa dibanding dirinya. Dia lelah terus-terusan menjadi beban papanya dibanding membuatnya bangga.

Jika harus mengeluh, dirinya yang pantas mengeluh banyak-banyak. Kurang tegar apa dia selama ini? Kurang sakit apa untuk bebas dari semua ini? Perlu setangguh apa agar bisa membuat papanya lebih kuat? Dia ingin mengeluh lebih dari itu.

"Maafkan Papa, Nak. Maaf." Papa Cho mencoba meraih putranya. Namun Kyuhyun menggeleng belum terima. Dia menghindari papa dengan keluar mobil dengan gerakan cepat.

Papa Cho memperhatikan putranya yang berjalan cepat seraya membersihkan wajahnya dari air mata. Kyuhyun pasti tidak ingin dilihat teman-temannya sedang menangis. Tidak ingin ditanya macam-macam. Anak itu lebih suka memperhatikan urusan orang lain dari pada diperhatikan urusannya.

Kyuhyun berbalik sebentar saat mobil papa akhirnya melaju pergi. Sedangkan dirinya masih berdiri di depan pintu. Ada beberapa sepeda di halaman, milik teman-temannya. Dia bisa mendengar suara ramai dari dalam.

Karena belum merasa tenang, Kyuhyun memilih duduk di pinggiran teras. Membiarkan sinar matahari sore menerpa sisi wajahnya.

Dia belum lama duduk di sana saat seorang temannya keluar.

"O, sudah pulang?"

Kyuhyun menoleh, tersenyum kecil. "Kalian bersenang-senang?"

Teman itu tertawa renyah. Berjalan menghampiri dan duduk di sebelah Kyuhyun. "Ruang keluargamu sudah macam diterpa badai jika kau ingin tahu."

Kyuhyun tersenyum sarkastis seraya mengangguk. "Bukan hal baru."

Teman itu tertawa lebih keras. Merangkul bahu Kyuhyun hingga tubuh keduanya berdempetan. "Kau terlihat tidak baik. Aku menemanimu di sini."

Keramahan di wajah Kyuhyun luntur. Sendu itu kembali. Dan temannya merangkul lebih erat. "Hei."

Bibir Kyuhyun bergetar. Matanya kembali basah. Embun itu kembali berjatuhan. "Aku lelah, Changmin. Aku bertahan untuknya. Tapi jika dia begitu putus asa, dari mana lagi aku mendapat dukungan dan keyakinan?"

"Kyu,"

"Aku ingin sembuh. Aku ingin sembuh!" tangis Kyuhyun tidak tertahan lagi begitu Changmin memeluknya. Dengan mencengkeram bahu temannya dia meluapkan perasaan. Tidak peduli jika Changmin kesakitan. Dia juga butuh bersandar.

#

Donghae berbalik masuk setelah melihat apa yang terjadi di luar. Dia menyusul Changmin untuk melihat apa benar suara mobil tadi adalah Kyuhyun. Mereka sudah menunggu Kyuhyun dan bersenang-senang tanpa si tuan rumah. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu begitu melihat Kyuhyun menangis.

Tidak ingin mengganggu, dia memilih kembali pada yang lain.

"Eh, itu tadi bukan Kyuhyun, ya?" tanya Minho masih sibuk nyemil.

Donghae duduk dengan bingung. Matanya bergerak ke arah lain, berpikir.

"Changmin mana?" Suho mengerang kecewa sebab kalah game melawan Taemin. Untuk ketiga kalinya kalah, Suho melipir ke sisi Minho, ikutan nyemil. Tempatnya digantikan Eunhyuk yang menantang Taemin dengan pongah.

"Donghae! Kami nanya ini!" seru Mino melemparri Donghae dengan kacang. Donghae mendecak kesal, melempar balik dengan kacang barusan.

"Tidak tahu! Tidak ada orang di depan!" jawabnya segera mengelak dengan beralih duduk di sebelah Kibum yang menyendiri. Kibum menatapnya datar.

"Jangan protes, Kibum. Mereka berisik." Donghae menarik bantal di pangkuan Kibum, menggunakannya untuk tidur. Kibum hendak bangun namun Donghae menahan tangannya. "Mau ke mana?"

"Ke depan."

"Kubilang tidak ada siapapun."

"Lalu Changmin?"

"Pergi. Tidak tahu ke mana. Mungkin cari isotonik. Kau tahu, dia suka sekali minuman itu. Sudah sini saja. Kyuhyun mungkin masih lama."

"Mau pulang."

"Jangan buru-buru. Kau disuruh menginap."

Donghae menarik Kibum dengan kuat bahkan memaksanya berbaring di karpet. Karpet rumah Kyuhyun ini bagus sekali. Bahannya bagus, tebal, empuk, wangi lagi. Nyaman sekali. Kibum mungkin lelah, dia tidak banyak memberontak saat dipaksa tiduran. Sedangkan Donghae memejamkan begitu Kibum tidak terlihat akan pergi.

Donghae pikir, Changmin pasti bisa membuat Kyuhyun tenang. Jadi dia akan membantu mereka untuk mendapatkan cukup waktu. Dia bahkan berharap Changmin membawa Kyuhyun pergi ke suatu tempat untuk lebih cepat pulih dan kembali menjadi Kyuhyun yang selalu optimis.

#

Mereka pergi ke rumah masing-masing. Hari sudah gelap dan Kyuhyun baru kembali 30 menitan sebelum mereka pamit pulang. Changmin menatapnya penuh arti sebelum menepuk lengannya hangat dan menjadi yang terakhir pergi.

Kibum ditahannya seperti niat awal. Dia sedang membantu seorang pelayan membersihkkan sisa kekacauan di ruang tengah. Tidak ada yang menyuruhnya.

"Kibum, tinggalkan itu. Ikut aku."

Kibum melakukan apa yang dikatakan Kyuhyun. Dia pergi dan pelayan merasa lega. Pelayan itu merasa tidak enak hati dibantu Kibum walau hanya mengumpulkan sampah.

"Kau tadi sempat pulang, kan?" Kibum langsung bertanya begitu memasuki kamar Kyuhyun. Dilihatnya remaja itu telantang melintang di atas kasur. Mengangkat kakinya pada Kibum.

"Aku lelah, Kibum. Jangan menanyakan apapun padaku," menggerakkan engkel kaki ke kanan ke kiri. Kibum berdecih, maju menepis kaki Kyuhyun lantas menjatuhkan diri di sebelah Kyuhyun, menindih lengannya yang terbuka. "Aku juga lelah," lirihnya.

Kyuhyun menoleh. Senyumnya lebar saat dia bergerak memeluk Kibum. "Jarang sekali mendengarmu mengeluh lelah," tawanya.

Kibum bergerak melepaskan diri, namun Kyuhyun justru memperkuat pelukannya. "Kibum, kau sudah tidak apa-apa, kan. Baik-baik saja, kan. Kau tidak akan hancur hanya karena perceraian orang tuamu. Kau hebat."

Kibum diam. Membiarkan Kyuhyun berlaku sesuka hati. "Kau ini bicara apa."

"Kenyataan." Kyuhyun melepaskan sendiri pelukannya. Kembali telentang menatap langit kamarnya. "Aku ingin sepertimu. Kuat, kokoh, dan luar biasa."

"Aku tidak seperti itu."

"Kau seperti itu." Decak Kyuhyun gemas.

'Tapi aku lebih ingin sepertimu.' suara hati Kibum menyahuti.

###

Meja makan keluarga Cho tidak pernah secanggung ini selama Kibum mengenal mereka. Seolah ada sesuatu di antara ayah anak itu. Papa Cho terlihat biasa, yang tidak biasa adalah Kyuhyun. Anak itu tidak melihat papanya bahkan saat bicara. Itupun seperlunya dan terkesan lebih menghindar.

Sedikit banyak Kibum merasa kurang nyaman. Dia menyelesaikan sarapannya dengan cepat lalu pamit ke depan. "Aku tunggu di depan." Maksud Kibum agar mereka menuntaskan masalah apapun yang terjadi.

Kyuhyun mengambil gelasnya, mengambil obat yang dikeluarkan papanya. Menelan obatnya dengan cepat. Tidak ada ucapan apapun dia bangun dari kursinya lantas pergi.

Dia tidak marah. Sungguh, tidak. Kyuhyun hanya kecewa. Kyuhyun hanya merasa tidak seharusnya papa begitu. Papa sudah berjanji akan lebih kuat, lebih tegar, tidak akan lemah lagi. Mereka berjanji untuk berjuang bersama. Tapi setiap kali dihadapkan pada progres penyakitnya, papa selalu kembali dengan wajah keruh. Khawatir berlebihan. Cemas ketakutan. Sangat putus asa melebihi dirinya. Nyatanya sikap papa yang seperti itu justru membuatnya tidak tenang. Menurunkan semangatnya. Mengacaukan fokusnya.

Beruntung Changmin membuatnya tenang kemarin. Sahabatnya sedari kecil itu tahu banyak tentangnya. Seluk beluk hidup serta bagaimana dia telah beruang hingga ke tahap ini. Changmin bilang, sikap papa wajar. Dia harus lebih mengerti dan bersabar. Tapi kecewanya juga benar.

Changmin mengerti dia takut dan lebih takut lagi dengan sikap papa yang begitu. Changmin juga bilang untuk bicara baik-baik dengan papa. Tapi bukan sekarang, Kyuhyun masih suka kesal melihat papa.

"Kau dan papa sedang marahan?" Kibum tidak terbiasa bertanya masalah orang. Tapi Kyuhyun adalah teman pertama yang terlalu dekat dengannya. Rasanya kalau cuek berlebih, kebangetan. Jadi dia bertanya. Lagi pula itu tidak nyaman untuknya juga.

Keduanya meninggalkan parkiran. "Iya," jawab Kyuhyun. Dia menatap Kibum memelas. "Papa itu jahat sekali, tahu Kibum."

"Jahat bagaimana?" Papa Cho sebaik itu masih disebut jahat? Lalau bagaimana dengan papanya sendiri?

"Papa tidak menepati janji. Dia bilangnya begini tapi keyataannya begitu."

"Janji macam apa?"

"Kau bertanya peduli atau hanya ingin tahu? Sedetail itu? Cari berita?"

Kibum memasang wajah lebih datar. Berjalan lebih lebar hampir meninggalkan Kyuhyun. Kyuhyun tertawa senang, menyusul Kibum kemudian memeluk lengannya. "Kibum, aku sayang padamu!!"

"Homo gila!!" Kibum mendorong kepala Kyuhyun jauh-jauh, menarik lengannya yang dipeluk kuat. Tapi remaja itu terbahak merasa tidak terganggu oleh penolakan Kibum.

#

"Anak edan!" Kibum masih menggerutu sampai di kelas setelah jadi tontonan. Kyuhyun di belakangnya terus tersenyum. Beberapa teman menyapanya, dia menyapa balik bahkan berhenti untuk mengobrol. Kibum tidak acuh berjalan lurus ke bangkunya. Berniat langsung selonjoran, namun Seohya menghampirinya tepat saat dia hampir merebahkan kepala.

"Aku ingin bicara."

Kibum mengangguk. Dalam pikirannya Seohya ingin bicara soal Kyuhyun. Dia mengikuti gadis itu hingga keluar kelas.

"Kibum, bagaimana perasaanmu tentang Jeoyung?"

"Kenapa tiba-tiba bertanya soal itu?"

Seohya menatap Kibum serius. "Jeoyung, aku melihatnya kemarin di atap Sekolah. Dia menangis. Tapi tidak mau berterus terang saat aku bertanya. Dia terlihat sangat sedih dan kecewa. Aku takut sekali dia mencoba sesuatu yang gila jadi aku membawanya pergi dari sana."

"Untuk apa kau menceritakan ini padaku?"

Seohya menunduk sebentar, menghela berat sebelum kembali menatap Kibum. Dia harus mengatakan ini. Semalaman dia kepikiran. Takut terjadi sesuatu pada Jeoyung karena itu dia terus memastikannya dengan mengirim sms bahkan telpon. Jeoyung bilang tidak apa-apa tapi dia tidak yakin.

"Aku memperhatikannya. Kami tidak berteman akrab, tapi dia teman sebangkuku. Aku jelas tahu bagaimana dia menatapmu diam-diam. Mungkin saja dia masih memiliki perasaan padamu."

Kibum tersenyum sengak. "Masih seumur ini dan kau memikirkan hal tidak perlu. Dari pada masalah cinta kenapa tidak kau pikirkan tentang sekolah saja?"

"Kibum, ini serius. Jeoyung,"

Kibum menggeleng, menolak mendengar lebih dan memutuskan untuk kembali masuk kelas. Kyuhyun di sana saat dia berbalik. Menatapnya tapi tidak mengatakan apapun. Kibum juga tidak bertanya, berlalu begitu saja.

"Bisa kau nasihati temanmu, Kyu?"

Kyuhyun menghampiri Seohya. "Tapi itu benar, Seohya. Kibum mengatakan apa yang seharusnya kita pikirkan."

"Apa?" Seohya nampak terkejut. Ada sedikit kecewa di matanya.

"Kita masih 15 tahun. Cinta belum pantas di usia kita."

Tidak bisa digambarkan bagaimana kecewanya gadis itu. Napasnya tercekat, syok dengan kalimat Kyuhyun. Sorot matanya jatuh di lantai dingin. "Tega sekali. Sangat tidak berperasaan."

"Seohya,"

Dug!

Seohya memukul dada Kyuhyun dengan keras. Sorot matanya menajam. "Pria memang tidak punya hati! Kau dan Kibum sama!! Memangnya apa yang kau tahu soal itu! Tidak punya perasaan!!" Seohya berlari pergi setelahnya. Tidak sampai menangis tapi Kyuhyun sanksi gadis itu tidak akan menangis.

Kyuhyun menggaruk kepalanya. "Padahal aku tidak berniat melukainya," desahnya.

###

Tbc
Thursday, June 13, 2019
5:14 PM

Hayyo siapa yang nagih ini tadi, muncul sini.
Seperti biasa juga typo dan sebagainya tolong dikoreksikan ya.

Salam,
Sima Yu'I

an opportunityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang