g

1K 153 16
                                    

"Kau tidak pulang?"

Kibum yang belum membereskan bukunya padahal kelas sudah berangsur sepi membuat Kyuhyun heran. Dia juga belum beranjak pergi, menunggu Kibum. Mereka biasa pulang bersama sampai di jalan mereka berpisah jalur. Atau mereka akan keluyuran main dulu kalau ingin.

Akhir-akhir ini Kibum sedikit berbeda. Kyuhyun pikir Kibum masih terpengaruh dengan duka perceraian orang tuanya. Tapi tidak tahu pasti kenapa, karena anehnya Kibum sedikit berpengaruh juga baginya. Kyuhyun jadi sedikit kesepian.

"Kau pulanglah lebih dulu. Aku masih ada urusan."

Kibum jadi jarang bersamanya saat pulang. Hanya sesekali akan bermain ke rumah. "Kutemani. Mau ke mana?"

Kibum menatap Kyuhyun seakan terganggu. "Pulang saja sana."

"Kibum," Kyuhyun mendudukkan dirinya lagi. "Kau tahu aku sayang padamu, kan. Kau sahabatku. Jika ada masalah yang tidak aku tahu dan kau tidak mau menceritakannya padaku, tidak apa. Tapi jika itu tidak bisa kau tanggung sendiri, biarkan aku membantumu."

Menarik nafas berat, Kibum bergerak memasukkan alat belajarnya ke dalam tas. "Aku hanya sedang tidak ingin kau ikut campur. Aku akan datang padamu jika aku sudah tidak bisa menanggungnya sendirian. Jadi jangan khawatir."

Kyuhyun tidak langsung pergi, menunggu jika mungkin Kibum bisa berubah pikiran. Namun Kibum memberi tatapan sekali lagi, bahwa dia baik-baik saja. Kyuhyun akhirnya pergi dengan lesu. Kibum dalam mode ini tidak bisa dia usik sembarangan.

Kibum selesai memasukkan semua perlengkapannya dan bersiap untuk pergi. Saat baru berdiri, seseorang memasuki kelas dengan wajah datar.

"Kau lama, Kibum."

Mendesah malas, Kibum menghampiri Jeoyung dengan kepala tegak. "Aku ingin memastikan satu hal sebelum ini dilakukan."

"Apa?"

"Aku telah mengikuti keinginanmu. Tapi aku cemas dengan kemampuan dirimu."

"Jangan merendahkanku, Kibum. Aku telah berusaha keras sepanjang waktuku. Satu-satunya yang diragukan adalah seorang pemalas sepertimu berada di kursi tertinggi." Sergah Jeoyung tajam.

"Aku tahu. Kau selalu berusaha keras. Tapi ketekunan dan bakat adalah sesuatu yang berbeda. Aku dikarunia bakat di kepalaku, itu hampir sama dengan ketekunanmu dalam belajar."

Kibum tahu kegigihan Jeoyung dalam hal belajar. Dan dia mengaguminya. Hanya saja sejak tahu Jeoyung selalu memendam iri hati padanya serta meragukannya dalam hal ini dan membuat itu sebagai alasan berpisah, Kibum merasa betapa konyol gadis ini. Kemudian dia menyadari satu hal setelah semua hal terjadi, sebesar apa obsesi Jeoyung untuk jadi nomor satu. Sayangnya, itu tanpa toleransi dan nalar yang baik.

"Tapi aku juga bukan pemalas seperti yang kau lihat." Kibum berujar dengan rendah namun matanya menatap tepat di manik Jeoyung. "Apapun yang terjadi pada hasilnya nanti, bahkan jika itu tidak sesuai dengan harapanmu, kau harus menerimanya. Kalah atau menang. Kau tidak akan lagi mengusikku untuk hal yang sama."

Jeoyung melipat kedua tangan di dada. Tersenyum yakin. "Oke. Karena aku pasti menang." setelahnya Jeoyung berbalik, melangkah dengan yakin. Kibum mengikutinya di belakang menuju tempat uji tanding akan dilakukan.

Itu adalah ruang kelas yang tidak terpakai. Sudah ada wali kelas mereka, kepala sekolah dan guru-guru lain. Lembar ujian berada di tangan wali kelas. Keduanya masuk, memberi salam dan berdiam menunggu instruksi.

Mereka dipersilahkan menempati dua kursi yang di sejajarkan dan diberi jarak tidak berdekatan. Wali kelas mereka mengangguk pada kepala sekolah, memberi waktu agar kepala sekolah memberi sedikit wejangan sebelum ujian tanding ini dilaksanakan.

an opportunityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang