Papa Cho tidak bisa meninggalkan putranya barang sedetik. Sebaliknya Kyuhyun juga tidak ingin ditinggalkan. Tangannya menggenggam terus tangan papanya, bahkan ketika tidur.
Sebenarnya papa Cho sedikit penasaran tentang kemarin. Kyuhyun pulang dengan meraung. Pulangnya terlambat, membuatnya hampir pergi ke sekolah menjemput Kyuhyun sebelum anak itu pulang dan mengejutkannya. Papa Cho pikir Kyuhyun dijahili preman atau apa. Tapi Kyuhyun hanya menggeleng saat ditanya pun tidak memberi penjelasan.
Kyuhyun mengigau memanggil Kibum. Panasnya belum juga turun. Papa Cho semakin cemas. Tanpa menunda lagi untuk membawa Kyuhyun ke rumah sakit. Beruntunglah bukan penyakit Kyuhyun yang kumat. Dokter bilang demamnya karena kelelahan dan stress. Mungkin ada hubunganya dengan nama yang diigaukan Kyuhyun.
"…jangan pergi…" Kyuhyun mengeratkan genggamannya saat dirasa papa bergerak. Kyuhyun salah sangka, padahal si papa hanya bergerak. Sedikit pegal sejak semalam tidak bisa beranjak dari kursi itu.
Papa menarik maju kursi yang dia duduki dengan satu tangannya. Lantas menumpukan lengan di tepi ranjang si anak. Tersenyum pada Kyuhyuun yang tidak lepas memperhatikannya. "Tidak. Papa di sini. Tidak pergi."
"Papa lelah, ya? Aku terlalu manja dan menyusahkan. Juga bodoh. Ujian nanti pun sudah pasti aku tidak lulus."
"Bicara apa, anaknya Papa? Kau tidak menyusahkan. Papa juga senang Kyu selalu bermanja pada Papa. Dan lagi, masalah sekolah sudah pernah kita bahas, kan. Jadi jangan dipikirkan, ya, Nak. Papa lebih tidak suka kau sakit begini dari pada hal-hal yang kau cemaskan itu."
Kyuhyun menatap ke atas. Terbersit kembali kalimat Kibum kemarin. "Papa,"
"Ya?"
"Kalau Kyu tidak ada, Papa bagaimana?"
"Kyu,"
"Pasti tidak enak sendirian."
"Kau tidak akan ke mana-mana. Papa tidak ijinin Kyu pergi."
"Bahkan ke tempat Mama?"
"Apa lagi ke sana. Papa jelas tidak kasih ijin!" Papa Cho menunduk. Mengusap tangan yang digenggamnya. Air matanya berada diujung mata saat dia melanjutkan. "Papa ini orang tua. Orang tua seharusnya mati lebih dulu sebelum anak mereka. Dia harus memastikan anaknya bahagia. memiliki hidup yang jelas lalu membangun keluarga mereka sendiri. Papa juga ingin Kyuhyun melalui semua itu dulu.
Papa ingin melihat Kyuhyun berhasil, lalu menikah dan menjadi seorang ayah. Papa harus bisa mengantarmu ke sana baru Papa berhasil dikatakan sebagai orang tua."
Kyuhyun merasakan tangannya basah oleh tetesan air mata papanya. Dari baringannya dia melihat cairan itu berjatuhan. Kyuhyun tidak tega. Sungguh. Tapi papanya juga harus disadarkan. Kyuhyun ingin papanya melihat kemungkinan lain selain kemungkinan yang diinginkannya.
Karena kenyataannya tubuhnya semakin sakit lebih dari sebelumnya. Kyuhyun tahu bagaimana penyakitnya berkembang semakin parah. Tapi papanya justru terjebak dalam keoptimisan yang palsu lalu lukanya jadi luar biasa sakit saat dia pergi.
Kyuhyun takut papa terjebak di kondisi tidak bisa merelakannya.
"Tanpa melalui itu semua Kyu juga sudah bahagia, Papa. Kyu sungguh bahagia."
"Jangan menyerah, Nak. Demi Papa. Ya?"
Kyuhyun menatap balik papa. Saling melihat di mata masig-masing. Kyuhyun bisa merasakannya. Kesedihan papa. Rasa sakit hati papa. Harapan yang besar. Tapi Kyuhyun juga tidak bisa berbohong bawa dirinya sudah serapuh itu.
Jadi Kyuhyun hanya bisa meraih tangan papa yang sedang menggenggamnya. Meremasnya lemah. Dia tidak mengatakan apapun selain tatapan tegar. Meminta papanya untuk jauh lebih tegar. Karena mungkin bukan lagi rasa sakit yang akan dihadapinya nanti, melainkan kehilangan.
#
Kibum baru saja keluar dari perpustakaan. Berjalan kembali ke kelasnya saat bertemu Jeoyung di koridor.
"Aku melihat ayahmu."
Kibum berhenti dengan tertarik.
"Dia memasuki Kantor Kepala Sekolah."
Kibum tidak mengatakan apapun. Langsung pergi ke tempat yang dikatakan Jeoyung. Pikirnya, papanya sungguh nekad datang sekalipun dia melarang. Lagi pula kenapa pergi ke kantor kepala sekolah? Kalau mau melunasi SPP seharusnya langsung saja pergi ke TU.
Saat sampai di sana dia melihat papanya baru saja keluar. Kibum menghampirinya tidak sabar. Menangkap lengannya dan menyeretnya pergi ke tempat lebih sepi.
"Kau ini apa-apaan, Kibum! Aku ini orang tuamu! Jangan menyeretku seperti bawahanmu!"
Kibum melepas tangan itu. Berbalik menatap papanya. "Kau datang melunasi uang sekolahku?"
Papa Kim diam. Tidak balas menatap Kibum. Membuat Kibum mendapatkan sebuah pemikiran. "Kau datang bukan untuk itu? Lalu kenapa kau datang?!" emosi Kibum naik dengan cepat.
"Aku memang belum bisa melunasinya. Tapi kupikir aku bisa meminta keringanan. Membiarkanmu ikut ujian tanpa melunasinya dulu. Kemudian aku akan melunasi semua biaya saat kelulusanmu nanti."
"Kau bodoh atau apa?! Mana mungkin Sekolah menyetujui itu? Mereka bukan yayasan belas kasih!"
"Tapi kau pintar, Kibum. Kau termasuk yang membangun nama baik Sekolah. Apa untuk murid sepertimu mereka tidak bisa memberikan aturan khusus. Sekolah macam apa yang mengabaikan murid berprestasi sepertimu."
Kibum tersenyum sinis. Papanya mulai menggerutu, yang itu artinya pengajuan keringanan itu ditolak pihak sekolah.
"Bagaimana kalau pindah Sekolah?" lalu tercetuslah kalimat itu. Kibum menatapnya semakin sinis tapi papa Kim tidak peduli. "Dengar. Kau tidak mungkin lulus dari sini tanpa membayar SPP. Tapi jika kau ke Sekolah Negeri, semua biaya akan ditanggung Pemerintah. Jadi,"
"Apa kau menjadi lebih gila?"
Rahang papa Kim mengeras. Menahan napasnya dengan wajah datar lantas melepaskan dengusan dengan kasar. Dia menatap ke arah lain. Mengusap wajah frustasi. "Kau ini tidak paham situasi, Kibum! Ayahmu ini sudah bangkrut. Sudah miskin! Mlarat Kibum! Tidak sanggup membayar SPP Sekolah swata dengan nominaal jutaan perbulan ini!!"
Papa Kim tidak tahu lagi bagaimana membuat Kibum sadar kesulitan mereka saat ini. Setidaknya jika Kibum pergi ke sekolah negeri, dia akan lebih ringan. Sekolah negeri akan membebaskan mereka dari biaya sekolah. Tidak sama dengan sekolah swasta yang bukan hanya membayar uang sekolah juga mahal. Terlebih sekolah Kibum ini. Sekolah elit dan berkelas.
"Kau selalu menolak saranku! Menyalahkanku padahal ini untuk dirimu sendiri! Coba jika kau mendengarkanku. Meminta tolong pada keluarga Cho tidak mau, sekarang pindah sekolah juga tidak mau! Kau minta aku bagaimana lagi. Ha?!"
Kibum diam. Hanya napasnya yang memburu dan tangannya mengepal. Papa Kim menggeleng sudah tidak peduli. Dia berlalu dari sana dengan kepala penuh beban. Meninggalkan Kium yang juga menghadapi jalan buntu.
#
Mulan membawakan minuman dingin untuk tuan Kim. Suaminya datang degan wajah penuh beban. Kucel dan lelah. Sekarang menyandar dengan kepala menengadah dan memejam di sofa depan. Mulan menyentuh lututnya hati-hati.
"Minum dulu." Mulan menyodorkan minuman itu. Tuan Kim mengambilnya langsung meneguk isinya hingga tandas. Setelah meletakkan gelasnya dia kembali di posisinya. Memujat pangkal hidungnya. Kepalanya berdenyut mengerikan. Suhu tubuhnya juga rasanya meningkat.
Dia buntu. Sungguh buntu. Tidak tahu lagi harus bagaimana. Rumah belum terjual. Dan tagihan sudah menumpuk.
"Aku rasa aku harus pindah rumah."
"Pindahlah kemari."
Tidak ada pilihan lain. "Akan kubujuk Kibum."
Mulan tersenyum. Mengusap lembut bahu suaminya. Suri, putri kecilnya merangkak mendekati setelah bosan bermain dengan bonekanya. Meraih kaki Mulan untuk pegangan berdiri. Mulan mengambil putri kecilnya naik lantas memangkunya.
"Papa dan Kakak Kibum akan pindah kemari, sayang. Suri senang, eoh? Nanti bisa main dengan Kakak, ya."
Suri tertawa renyah. Menepukkan tangan dengan kaku. Tidak mengerti apa yang dikatakan ibunya. Tapi senang saja karena ibunya terlihat senang.
Tuan Kim membuka mata saat Mulan berbicara dengan Suri. Dia menegakkan duduk. Mengambil alih Suri. Memeluk putri kecil itu dengan sayang. "Suri mau, ya jadi teman Kakak Kibum nanti. Dia keras kepala dan tidak ramah. Tapi pasti dengan bayi manis seperti Suri Kakak Kibum bisa luluh."
"Ppa!" Suri mengulurkan tangannya. Tidak tahu maksudnya. Namun tuan Kim menangkap tangan mungil itu dan mengecupnya. Membuat suara aneh dengan permainan mulutnya. Suri tertawa gembira begitu juga tuan Kim.
"Mulan,"
"Iya?"
Tuan Kim diam. Ragu untuk mengatakan ini. Seolah tahu Mulan berkata. "Katakan saja."
"Soal tabunganmu," tuan Kim menunduk. Mulan meraih tangan tuan Kim. Saat pria itu mengangkat wajah kembali dia melihat Mulan yang tersenyum.
"Kau bisa memakainya. Gunakan saja."
"Mulan, maafkan aku. Aku pasti menggantinya."
"Tidak, suamiku. Kau bisa menggunakannya seperti uangmu sendiri. Kau membutuhkannya maka gunakan."
"Aku tidak tahu lagi harus ke mana. Aku membutuhkannya untuk Sekolah Kibum. Terima kasih, Mulan."
"Aku senang kau datang padaku. Tidak apa, Kibum putramu maka dia putraku juga." Tuan Kim luar biasa lega. Dia memeluk Mulan dan mengucapkan terima kasih berulang kali.
#
Kyuhyun bilang perutnya sakit. Anak itu merintih hingga meringkuk di atas ranjangnya. Tidak lama setelah itu dia batuk-batuk dan keluar darah di mulutnya. Papa Cho berjengit kaget, lantas menekan tombol emergency dengan brutal. Kyuhyun sudah lemas dan sesak napas.
Papa Cho menangis. Meminta Kyuhyun bertahan. Meski anak itu tidak sepenuhnya sadar. Hanya bisa mendengar papanya menangis. Dokter datang dengan cepat, suster menggiring papa Cho keluar dan menutup pintunya.
#
"Hei, Kibum!"
Kibum menangkap bola itu. Donghae melambai di tengah lapangan. "Bawa bolanya ke sini! Ayo, main bersama!"
Kibum melembar kembali bola basket itu. Donghae menangkapnya dengan mulus. Lalu pergi tanpa sepatah kata.
"Anak itu kenapa?" Eunhyuk bertanya melihat sikap Kibum. Donghae mengedik bahu tidak peduli, kembali mendribel bola, Minho datang mencoba merebutnya namun dia berkelit dengan lincah. Bersama yang lain mereka kembali bermain.
"Kyuhyun tidak masuk, ya?"
Mino meraih botol minum di tepi lapangan, di bangku tempat mereka meletakkan blazer. Dia dan Changmin memilih istirahat setelah satu permainan. Changmin sedang mengecek ponselnya, Mino mendudukkan diri di sebelahnya memangku blazer.
"Changmin, aku bertanya padamu." Mino menyenggol bahu remaja itu, kesal tidak mendapat jawaban.
Changmin menatap ke depan. Ponselnya sudah terpejam. "Dia masuk Rumah Sakit, lagi."
Mino menatap sekilas. Memutar botol dengan dua tangan. "Kapan dia sembuhnya," lirihnya berharap.
"Entahlah."
"Kibum dan yang lain masih belum tahu, ya."
Changmin menggeleng masih menatapi teman-teman mereka di lapangan. Bermain dengan begitu bebas. Kelebihan energi. Penuh semangat. Penuh keringat. Sehat.
"Aku juga. Sudah merasa lega saat itu. Kupikir, akhirnya dia akan baik-baik saja. Tapi, dia masih harus berjuang untuk penyakit yang lain."
Changmin meluruskan kaki. Mendongak. Mendengar Mino bicara seperti itu, dia jadi ingat masa dulu. Hari saat mereka masih begitu muda dan belum memahami apapun dengan baik. Kyuhyun yang selalu tersenyum dan penuh penasaran, nyatanya adalah pejuang tumor otak. Ditemani rasa sakit setiap hari namun akhirnya bisa bertahan.
Dia masih ingat bagaimana mereka merayakan kemenangan Kyuhyun hari itu. Papa Cho benar-benar maksimal dalam bersyukur. Dia mengundang seluruh anak sekelas untuk berpesta. Bahkan Changmin dan Mino yang berada di Sekolah lain. Memberi santunan ke panti-panti asuhan dan panti sosial lainnya. Bersama itu dia meminta doa untuk putranya agar selalu sehat dan bahagia.
Tapi mungkin Tuhan belum sepenuhnya mendengar doanya. Atau Tuhan masih belum puas menguji Kyuhyun. Entahlah. Yang Changmin tahu pasti adalah Kyuhyun masih terus berjuang.
###
Tbc
Thursday, June 20, 2019
6:42 PM
Sima Yu'I
KAMU SEDANG MEMBACA
an opportunity
FanfictionKyuhyun sempurna hidupnya, begitu di mata Kibum. hidupnya bahagia. hidupnya menyenangkan. padahal ceroboh dan tidak pandai. lebih baik dirinya soal otak dan kemampuan olah raga. tapi kenapa Kyuhyun yang memiliki hidup bahagia? dibanding dirinya yang...