Rena telah sampai tahap finishing. Dia selalu tersenyum melihat hasil lukisannya yang lumayan bagus. Dia tidak menyangka dapat melukis sebagus ini, padahal sebelumnya dia belum pernah melukis wajah orang. Dia hanya suka melukis pemandangan desa ataupun kota, hanya sesuatu yang bernuansa keramaian."Boleh ku minta tanda tanganmu?" Pinta Rena sembari melepaskan papan lukis.
Alfa beranjak menghampiri Rena yang masih duduk sambil mengamati lukisannya yang telah usai.
"Sangat bagus!" Puji Alfa, dia merogoh saku kemeja dan menemukan sebuah bolpen biru.
"Aku senang kau menyukainya" Rena mengamati tangan Alfa yang sedang mengguratkan sebuah coretan di ujung kanvas.
"Seperti tanda tangan Ratu Isabella" Ungkap Rena dengan dahi yang bergelombang.
Alfa menghembuskan nafas, tangan kanannya menyandar pada pundak Rena.
"Sangat rumit? Begitu kebanyakan komentar orang orang"Mereka kembali tertawa.
Di ujung barat, matahari menyemburatkan sinar oranye yang sosoknya begitu indah. Langit senja menaungi dua insan yang sedang bersuka cita dengan segala pembicaraan mereka.
Dua senyum yang tersungging di wajah mereka menyurutkan niat sang mentari untuk turun menenggelamkan diri. Senyum itu sangat indah dipandang oleh penghuni angkasa raya dan segala isinya.
"Oh... Aku lupa! Aku harus kembali ke dalam. Mereka semua pasti sudah disana!" Dengan tergesa gesa, Rena merapikan semua peralatan dengan memasukkan semua alat dengan posisi sembarang.
Alfa yang tertegun berusaha membantu Rena. "Maafkan aku, membuatmu lupa waktu!"
"Tidak apa apa."
Rena beranjak dan berlari meninggalkan Alfa yang tengah terduduk diatas semak belukar. Mengamati punggung gadis yang tengah bersungut sungut membawa banyak barang.
Di tengah larinya, Rena langsung berbalik dan melambaikan tangan.
"Terima kasih, Alfa. Senang bertemu denganmu!" Teriak Rena.
"Terima kasih juga, aku juga senang!" Balas Alfa. Dia berdiri dan merapikan pakaiannya yang kusut.
Alfa menarik nafas, memejamkan mata sejenak dan berjalan meninggalkan panti. Dia terbiasa berjalan kaki dari rumahnya yang berada di pedesaan lembah Gunung Chimorakhy menuju panti yang berada di kota.
Dia lebih suka berjalan kaki daripada harus mengendarai transportasi umum. Lagipula tidak ada satupun transportasi yang dapat mengambah desanya karena harus melewati jalan yang curam dan berkelok kelok. Selain itu, di kota ini sangatlah tidak aman baginya untuk berinteraksi.
****
Sementara di tempat Rena.
Dia berlari sekuat tenaga untuk segera sampai di ruang utama panti.
Dia membuang nafas berat saat pintu ruang utama sudah terbuka lebar. Sementara anak anak seni yang lain sudah berkemas dengan tas tas mereka."Rena, dari mana saja kau?! Aku mencarimu kemana mana!" Gertak Meline yang kini berada di sampingnya.
Rena menoleh, nafasnya terengah engah. "Apa acara penilaian sudah selesai?"
"Jelas sudah! Kau lihat ini pukul berapa?" Meline memperlihatkan jam tangannya tepat didepan mata Rena. Jam kecil itu menunjukkan pukul lima sore. Berarti Rena sudah ketinggalan selama satu jam yang lalu.
"Dimana Mrs.Heidy?"
Meline menunjuk ke tempat dimana Mrs.Heidy sedang berpamitan dengan Mrs.Esther. Rena berjalan ke tempat itu. Menunduk dihadapan Mrs.Heidy sembari meminta maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANGEL ALFALHO
JugendliteraturBukan sebuah mimpi, Bukan pula sebuah khayalan, Mimpi yang dialami gadis seni tersebut membuahkan khayalan yang tak lain adalah pengalaman nyata. Ini sebuah misteri, perjalanan, dan kehidupan.