39 (He Was Tormented)

8 2 0
                                    


"Aku tau, kau masih ada masalah dengan Mrs.Dietje. Aku memaklumi itu," ucap Meline. Dia menyentuh lembut tangan Rena, lalu mengelusnya.

Gadis yang sedari tadi menunduk itu akhirnya mendongakkan wajahnya, menoleh kepada gadis negro disebelahnya. Meline sedang dalam kondisi tidak baik, kepalanya diperban dengan sejumlah luka di beberapa bagian wajahnya.

Sepatutnya Rena bersyukur, dia berada dalam kondisi yang nyaris tanpa luka sedikitpun setelah kejadian itu. Namun, dia sepertinya lupa untuk menyadari rasa syukur itu, menyangkut keadaan hati dan pikirannya yang sedang dilanda kegelisahan, kerumitan, dan antara terpaksa membohongi perasaan sendiri. Tentang perasaannya terhadap Alfa, masih abu-abu.

"Tolong jangan ceritakan itu semua kepada Minsten." sahut Rena dengan suara serak.

"...." gadis negro itu hanya mengangguk.

Meline sebenarnya tau apa yang berkecamuk dalam pikiran Rena saat ini. Namun dia tak berani menyinggung apapun tentang itu. Dia hanya ingin membiarkan Rena menyelesaikan masalahnya itu sampai selesai. Dia tak mau mencampuri apapun itu mengenai perasaannya.

"Terima kasih" ujar Rena. Dia kembali menatap ke depan, jalanan tidak terlalu ramai seperti biasanya.

Percakapan singkat itu menyela aktivitas hening mereka didalam mobil. Hingga tak terasa, kini mereka telah sampai didepan gerbang Anges Chetau.

Beberapa siswa terlihat berebut lahan parkir yang berada dekat dengan gerbang. Tempat parkir itu merupakan satu satunya tempat parkir yang sangat strategis, karena mereka bisa mengambil sepeda dan langsung keluar gerbang tanpa harus mengantri panjang.

Setelah menutup pintu mobil, Rena tersenyum singkat kepada Mr.Herry. Lalu dia langsung beranjak meninggalkan Meline yang baru saja keluar dari mobil.

Meline berpamitan kepada ayahnya, setelah itu dia berlari dan mencekal tangan Rena yang sudah berada di lobi.

"Aku hanya ingin mengatakan padamu mengenai satu hal" ujar Meline.

Sambil melepas cekalan tangan Meline.
"...." Rena hanya menarik kedua alisnya.

"Semakin kau dekat dengan lelaki itu, semakin rumit hubunganmu dengan kami semua. Dan jangan minta pertolongan padaku mengenai gangguan jiwamu apabila masalahmu ini bertambah rumit." ujar Meline panjang lebar.

Rena bertingkah seakan tidak peduli. Dia hanya menghembuskan nafas kasar, kemudian mengangguk sambil tersenyum malas.

"Pikirkan dengan baik, aku bersedia membantumu jika kau butuh. Tapi jika kau masih dengan lelaki itu..."
Meline berhenti sejenak, sembari menggelengkan kepala pelan.

"Aku tidak akan membantumu"
Meline berjalan meninggalkan Rena yang masih membisu di tempat.

Gadis itu hanya menggeleng pelan, sesekali menghembuskan nafas berat seakan masalah ini bukan hal sepele yang harus dia tanggung, dia memejamkan mata dan mencoba menghilangkan bayangan-bayangan buruk yang kini mulai mengganggunya.

Kedua gadis itu berjalan beriringan menuju kelas. Sepanjang perjalanan, mereka hampir saja mati rasa karena hampir semua siswa yang tak sengaja bertemu dengan mereka tak segan-segan menanyakan apapun itu mengenai perban yang menyangkut pada dahi Meline.

Dan Meline hanya menjawabnya dengan kata 'Aku baik baik saja'. Begitulah, sementara mulut Rena sedari tadi terkatup. Sesekali melontarkan senyuman kepada mereka yang menyapanya.

Seharian ini, lidah Rena terasa kelu, dia tak mengucapkan sepatah kata pun sejak pagi. Bahkan kali ini, masih dalam pembelajaran ilmu sastra.

"...."

ANGEL ALFALHO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang