Titled - Past

2.8K 432 32
                                    




📒









📒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









📒









Seoul, Tiga tahun yang lalu,




Ramai, padat, ribut, dan penuh dengan kepanikan. Semua itu yang terlihat di gedung gawat darurat yang dimasuki Jeno dengan terburu.


Langkahnya besar-besar, sesekali melewati beberapa Perawat yang sedang mendorong seseorang di atas kursi roda, dan sering kali ia menabrak Tim Paramedis yang berlarian; mendorong patient stretcher transfer trolley ke dalam bilik-bilik bertirai biru gelap yang saling berdempetan satu sama lain.


Dia berhenti di meja informasi, menyebutkan sebuah nama pada seorang petugas jaga, lalu ia diarahkan menuju salah satu operation room yang terletak di ujung lorong sebelah kanan gedung.


“Jeno!!” Renjun setengah berteriak ketika melihatnya berdiri kebingungan di persimpangan lorong.


Dengan cepat, Jeno kembali berlari, menghampiri sahabatnya yang sudah tampak sangat kacau. “Di mana? DIA DI MANA?!” Jeno meremat kerah kemeja Renjun dengan kasar, membuat Tuan Na dan Yuta menariknya menjauh.


“Lee Jeno! Jeongshincharyeo!” sentak Renjun gusar.


Jeno terhenyak sebentar, lalu ia menoleh, menatap pintu operation room dengan penuh ketakutan.


Box kecil di atas pintu masih berwarna merah, menandakan operasi masih berlangsung di dalam. Beberapa Resident dan Perawat terlihat sibuk keluar masuk, membawa kantung-kantung darah, cairan infus dan juga berbagai macam hal lain yang Jeno tidak tahu namanya.


Tetapi ia paham, sangat paham. Kalau—


“Nana...” Jeno terhuyung maju, mendekati pintu operation room dan hendak membukanya paksa.


Namun belum sempat ia melakukannya, seseorang sudah lebih dulu menahan langkahnya seraya berucap, “Hentikan, Jen!”


Itu Yuta. Ia menarik lengan Jeno dan membuatnya duduk tenang di kursi tunggu.


Sepasang manik rubah bergetar, memanas dan rahang ikut mengeras. “Oh, Ya Tuhan... apa yang sedang terjadi?” Jeno memegangi kepalanya; tertunduk dalam.


“Mereka, kecelakaan, Jen—”


“Aku tahu, Injunnie! Aku tahu!” potong Jeno, menyentak dengan kasar, lalu kembali tertunduk. “Yang aku tanyakan... kenapa? Apa penyebab—oh, Tuhan...” Ia meracau, cukup sulit menjelaskan maksudnya dengan keadaannya yang masih sangat terkejut.


The Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang