Untitled - 19

3.1K 509 25
                                    




📖









“Apa ada yang sedang mengganggumu?” Dokter Park menggeser mug yang berisi teh panas ke tengah meja kecil di sampingnya.


“Lebih tepatnya, seseorang,” jawab Jaemin dengan kedua mata tertutup rapat.


“Apakah kau mau memberitahuku siapa orang itu?” tanya Dokter Park sembari menuliskan sesuatu di jurnal cokelatnya.


Jaemin menghembuskan nafas berat, lalu ia membuka kedua matanya perlahan dan memainkan jemarinya pada ujung jahitan kemeja biru yang ia pakai hari ini. “Mark. Mark Lee.”


Dokter Park tetap memasang wajah datarnya mendengar nama itu keluar dari mulut Jaemin—lagi.


“Anda pasti mempunyai semua catatan kesehatanku, kan?” todong Jaemin.


“Dan maksud dari pertanyaanmu barusan adalah?” Dokter Park melepaskan kacamata bacanya. “Its confidential information. Kau tahu itu, bukan?”


“Tetapi itu tetap catatan pribadiku!”


“Jaemini—”


“Apa aku menghilangkan sebagian dari ingatanku, Dokter Park?”


Dokter Park menutup jurnalnya dan meletakkannya di sebelah mug yang masih mengepulkan uap panas, menghela nafas panjang kemudian. “Apa yang ingin kau ketahui, Jaeminie?”


Jaemin terdiam sejenak, di dalam kepalanya begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang melayang-layang seperti serangga di atas tumpukan kotoran.


Sebuah tarikan nafas berat kembali terdengar dari bibir Jaemin. “Mungkin Anda bisa mulai bercerita, kenapa aku terbangun di rumah sakit dengan sekujur tubuhku yang dipenuhi luka, tiga tahun yang lalu.”









📖









Jeno masih sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen penting yang sudah menumpuk sejak ia mengambil cuti dadakan selama seminggu—untuk menemani Jaemin—ketika lampu intercall yang berkedip memutuskan konsentrasinya.


“Ya?” ucapnya seraya menekan tombol pengeras suara.


Meeting di Hotel Pann jam sebelas. Lima menit lagi aku akan ke ruanganmu untuk menjemputmu dan bersiap.


Jeno melirik jam tangannya, sudah pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. “Kemarilah sekarang dan bantu aku,” pintanya setengah memelas.


Jika itu berurusan dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejamu, aku tidak mau!”


“Kumohon, Channie...”


Hening. Tidak ada jawaban apapun dari Haechan selama kurang lebih sepuluh detik.


Kalau saja bukan kau yang menggajikuaish!”


“Terima kasih, kau memang yang terbaik!”


Selang beberapa menit, Haechan dengan raut wajahnya yang ditekuk masam, masuk ke dalam ruangan Jeno.


The Lost MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang